.: My Letters 4 My Life :.

28 July 2010

Dukuh dan Persandian RI

Oleh : A. Maulana*

Dukuh merupakan salah satu Pedukuhan yang terletak di Desa Purwoharjo, Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulon Progo. Pada masa perang kemerdekaan tahun 1940-an, peran Dukuh selain bagian dari wilayah perjuangan Tentara Republik Indonesia (TRI) di Yogyakarta, juga bagian dari sejarah eksistensi persandian nasional mengawal perjuangan kemerdekaan RI.


Sejarah persandian di Dukuh dimulai sesaat setelah terjadinya serangan militer Belanda ke Yogyakarta dini hari pada tanggal 19 Desember 1948, yang terkenal dengan Agresi Militer Belanda II. Agresi Belanda tersebut membuat situasi pemerintahan di Yogyakarta menjadi tidak stabil, termasuk kegiatan hubungan code (komunikasi sandi) yang waktu itu berkantor di jalan Batanawarsa 32 (sekarang Jl. I Dewa Nyoman Oka) Yogyakarta.


Sebagian dari mereka ada yang masih bertahan untuk berkomunikasi di Yogyakarta, sebagian lain hijrah ke tempat lainnya yang lebih aman dan sebagian lain ada yang membakar dokumen-dokumen penting atau rahasia untuk menghindari dari temuan musuh (Belanda). Upaya untuk membumihanguskan kantor tidak bisa diteruskan karena tentara Belanda sudah menembaki pegawai di kantor dari jembatan Gondolayu.

Beberapa dari mereka yang bertahan di Yogyakarta bergabung dengan salahsatu kesatuan yang mempunyai hubungan Code atau yang mempunyai pemancar radio. Ini dimaksudkan agar mereka masih bisa melakukan komunikasi atau hubungan code dengan rekan lainnya. Salahsatu lokasi yang ditempati mereka adalah Dekso, sebuah desa kecil di tepi barat Kali Progo di kaki Pegunungan Manoreh. Di dekat daerah Dekso ini pula terdapat Markas Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP), yang berkedudukan di Desa Banaran (sekitar 5 km dari Dekso). Sebagian dari mereka ini ada yang meneruskan perjalanan ke Jawa Barat, termasuk dr. Roebiono Kertopati dan sebagian lain tetap bertahan di Yogyakarta.


Beberapa dari personil bagian Code yang bertahan di Yogyakarta bergabung dengan KSAP di Banaran. Sebagian dari mereka (Letnan II Soemarkidjo dan Letnan Muda Soedijatmo) yang di KSAP membentuk bagian Code di Dekso, yang diperbantukan pada PHB (Perhubungan) Angkatan Perang. Bagian Code ini kemudian pindah lokasi ke Dukuh. Saat itu, Letnan Soemarkido diberikan amanat sebagai Kepala Kamar Code dan tugas tambahan dalam rangka pengamanan terhada KSAP. Tamu-tamu KSAP harus mendaftar dulu di “check-point I” di Staf PHB Angkatan Perang di Dekso, kemudian di “check-point II” di Dukuh (Letnan Soemarkidjo). Selama di Dekso tersebut dilakukan komunikasi Code antara personil/kesatuan Angkatan Perang, termasuk hubungan ke pemerintah (PDRI) di Sumatera, Jawa Tengah dan Playen.


Hubungan komunikasi Code tersebut berjalan sampai kembalinya Yogyakarta ke pangkuan RI, paska persetujuan Konferensi Meja Bundar. Beberapa mereka yang bertugas di bagian Code di sekitar Yogyakarta pun segera masuk ke Kota Yogyakarta, termasuk personil-personil bagian Code di bawah pimpinan Letnan I Soemarkidjo. Setelah kondisi Yogyakarta kembali stabil, bagian Code kemudian pindah kembali ke Yogyakarta menjadi Bagian Code MBKD (Markas Besar Komando Djaja).


Foto kantor Lemsaneg di Ragunan, Jakarta Selatan

Seiring perkembangannya, bagian Code tersebut menjadi Dinas Code Angkatan Perang dan kemudian berubah lagi menjadi Djawatan Sandi Angkatan Perang RI. Waktu itu, lokasi Djawatan Sandi berada di sebuah Pavilyun Kantor Menteri Soepeno, jalan Mahameru 1, Yogyakarta. Paska persetujuan KMB, berangsur-angsur kegiatan pemerintahan di Yogyakarta berpindah ke Jakarta, termasuk Djawatan Sandi. Djawatan Sandi ini lah yang dalam perkembangannya berubah menjadi Lembaga Sandi Negara yang eksis sampai sekarang ini.

Referensi:
Buku “Sejarah Persandian Republik Indonesia” (Paguyuban Mantan Sandiman, 1991)


*Penulis adalah Anggota Tim Pengembangan Museum Sandi (2009), tinggal di Jakarta (Tulisan ini dimuat di Majalah Sanapati Edisi II, Nopember 2009, pada kolom "Sejarah", Foto diambil dari Majalah Sanapati dan Arsip Tim Museum Sandi).


Baca selengkapnya ...

MUSEUM SEBAGAI MITRA PENDIDIKAN

Sebuah Studi Observasi untuk Penguatan Masyarakat Berbasis Ilmu Pengetahuan

Oleh : A. Maulana*

Dunia ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) terus berkembang seiring dinamika tuntutan zaman. Oleh karena itu, penguasaan terhadap dunia iptek menjadi unsur yang sangat penting bagi kebutuhan masyarakat luas. Selama ini, sumber penguasaan iptek terkonsentrasi pada pendidikan formal di sekolah, baik melalui guru di kelas, praktek laboratorium, perpustakaan dan lain-lain. Untuk lebih mengoptimalkan penguasaan nilai-nilai tersebut bagi masyarakat luas, pola pembelajaran perlu di dukung oleh ruang serta media belajar di luar lainnya. Salah satu media yang cukup efektif untuk pengembangan diri di luar adalah pemanfaatan Museum.

Museum, sebagaimana PP No 19 Tahun 1995 adalah lembaga, tempat penyimpanan, perawatan, pengamanan dan pemanfaatan benda-benda bukti materiil hasil budaya manusia serta alam dan lingkungannya guna menunjang upaya perlindungan dan pelestarian kekayaan budaya bangsa. Adapun benda cagar budaya yang ada di museum, baik benda buatan manusia maupun benda alam dianggap mempunyai nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Sedangkan berdasarkan International Council for Museums (ICOM), museum adalah lembaga yang bersifat tetap, tidak mencari keuntungan dalam melayani masyarakat, terbuka untuk umum, mengumpulkan, merawat dan memamerkan, untuk tujuan penelitian, pendidikan dan hiburan, benda-benda bukti materiil manusia dan lingkungan.

Lebih lanjut diterangkan dalam PP tersebut bahwa pemanfaatan benda cagar budaya di museum dapat berupa penelitian dan penyajian kepada masyarakat. Penelitian dapat dilakukan untuk pengembangan kebudayaan nasional, ilmu pengetahuan dan teknologi, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dari hal tersebut, bisa kita pahami bersama, bahwa museum merupakan wahana edukatif yang cukup efektif bagi masyarakat luas. Oleh karena itu, perlu dibangun kesadaran bersama pentingnya memberdayakan fungsi edukatif pada museum secara efektif, baik dari pengelola museum maupun masyarakat luas sebagai pengguna museum.

Museum sebagai Mitra Pendidikan
Tuntutan kompetensi seorang guru sangat diperlukan dalam menjawab berbagai persoalan. Hal ini dikarenakan guru merupakan sumber pengetahuan bagi anak didiknya secara langsung di sekolah. Namun, seorang guru juga memiliki keterbatasan dalam penguasaan disiplin ilmu. Oleh karena itu, sumber pengetahuan diharapkan tidak hanya terpaku oleh pemberian guru, namun juga bisa diperoleh melalui sumber lainnya, seperti buku perpustakaan, informasi di museum dan lain-lain.

Museum sebagai wahana edukatif selama ini kurang diberdayakan secara maksimal. Perkembangan museum saat ini seharusnya mampu menjawab tuntutan kebutuhan pengetahuan bagi masyarakat luas bahwa museum bisa menjadi sarana efektif untuk menjadi mitra pendidikan, termasuk untuk kalangan pelajar, mahasiswa, guru dan dosen. Sebagai contoh, di kampus-kampus ternama biasanya dibangun suatu museum, misalnya museum biologi dan lain-lain.

Beberapa museum saat ini telah menyediakan berbagai koleksi sesuai disiplin ilmu dan sangat potensial dalam upaya pengembangan pendidikan. Museum-museum tersebut sebagian besar masuk ke dalam jenis Museum Khusus. Beberapa museum khusus yang menyajikan koleksi secara spesifik adalah Museum Perangko (Jakarta), Museum Telekomunikasi (Jakarta), Museum Sandi (Yogyakarta), Museum Bank Indonesia (Jakarta), Museum Batik (Yogyakarta) dan lain-lain. Sedangkan Museum Umum menyediakan berbagai koleksi dari berbagai dimensi, misalnya Museum Nasional (Gajah) di Jakarta.

Selain itu, sebagian museum pada saat ini memperhatikan juga perkembangan teknologi dalam pelayanan informasi. Aplikasi teknologi tersebut biasanya dalam bentuk layanan informasi digital dan fungsi interaktif lainnya. Dengan penyajian informasi yang bersifat komunikasi dua arah antara pengunjung dengan informasi benda koleksi, diharapkan pengunjung akan bisa memperoleh dan memahami informasi yang disajikan secara jelas, khususnya terkait ilmu pengetahuan dan sejarah.

Menuju Masyarakat Berbasis Pengetahuan
Setiap lembaga mempunyai harapan pencapaian terhadap visi misinya. Depkominfo mempunyai harapan terwujudnya masyarakat Indonesia berbasis informasi. Bagaimana dengan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata sebagai induk pembinaan museum di Indonesia? Sebagaimana diketahui, museum-museum di Indonesia, pada umumnya dikelola dan dibina oleh Depbudpar, dalam hal ini ditangani oleh Direktorat Museum, Dirjen Sejarah dan Purbakala.

Bukan hal yang tidak mungkin atau sulit dilakukan, suatu museum digarap dan dikembangkan menjadi suatu bagian dari upaya terwujudnya masyarakat yang berbasis pengetahuan. Dalam hal ini, museum dijadikan wahana informasi dan komunikasi yang efektif bagi pengembangan wawasan masyarakat luas. Harapan ini tentu saja bagian dari upaya mempercepat proses pencapaian dari Departemen Pendidikan Nasional dalam memajukan pendidikan di tanah air.

Harapan tersebut mungkin akan menjadi harapan kosong jika tidak ada aksi dan tindak yang tepat sesuai kebutuhan masyarakat. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam usaha mencapai harapan tersebut adalah pelaksanaan program pengembangan dan pengelolaan museum berbasis informasi, baik yang disajikan secara klasik (satu arah) dengan menyajikan koleksi benda-benda pada umumnya atau modern (interaktif) yang memberikan nilai lebih pada fungsi komunikasi yang dibangun secara interaktif. Salah satu contoh program pengembangan museum berbasis informasi adalah dibangunnya informasi online melalui situs digital (website) museum sehingga bisa diakses oleh siapapun dan dimanapun tempatnya.

Hal lainnya yang perlu diperhatikan adalah program sosialisasi dan pengenalan museum secara komprehensif kepada masyarakat luas, termasuk kalangan pendidikan seperti para siswa dan mahasiswa. Contoh dari program ini adalah seperti yang dilakukan oleh pihak Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta dengan program “Museum Masuk Sekolah”-nya. Contoh ini memang bagian dari langkah museum untuk mendekati para siswa dan guru agar lebih mengenal tentang Museum. Contoh lainnya adalah dengan mengikuti pameran secara aktif atau penyelenggaraan kegiatan lainnya yang mengikutsertakan pihak museum. Pameran yang biasanya mengikutsertakan pihak museum dalam kegiatan adalah Dinas Pendidikan, Dinas Kebudayaan dan Dinas Pariwisata.

Penulis optimis, jika program pengembangan dan pengelolaan museum tersebut dapat dilaksanakan dengan baik disertai dengan program sosialisasi dan pengenalan museum kepada masyarakat luas maka akan menghasilkan capaian yang optimal. Di sisi lain, pelaksanaan program-program tersebut harus memperhatikan alokasi anggaran yang ada secara efektif dan efisien serta akuntabel. Tentu saja, program-program tersebut harus didukung oleh segenap kalangan museum dan masyarakat lain yang mencintai pentingnya nilai-nilai luhur sejarah bangsa Indonesia. Pada akhirnya, harapan terwujudnya masyarakat berbasis pengetahuan dari keberadaan sebuah museum bisa tercapai dengan baik.

*Penulis adalah Anggota Tim Pengembangan Museum Sandi, tinggal di Jakarta


Tulisan ini diterbitkan juga di Majalah Sanapati, Edisi I, Mei 2009, pada Kolom "Pendidikan". Link : www.lemsaneg.go.id


Baca selengkapnya ...