.: My Letters 4 My Life :.

12 June 2011

Membumikan Gerakan Hijau di Indonesia

Oleh : Agus Maulana

Lingkungan hidup merupakan masalah krusial pada dasawarsa ini. Berbagai elemen, seperti intelektual publik, organisasi, partai dan bangsa terus bergerak untuk mendorong dan menggalang usaha bersama menjaga kelestarian alam demi kualitas kehidupan yang lebih baik. Langkah berbagai negara untuk melakukan persetujuan internasional di bidang lingkungan hidup patut diapresiasi oleh masyarakat luas, seperti yang dilakukan pada Earth Summit di Rio de Janeiro, Brazil pada tahun 1992 dan Protokol Kyoto di Jepang pada tahun 1997.

Kebakaran hutan, longsornya tanah perbukitan, kebanjiran dan kasus lingkungan hidup lainnya menunjukkan bukti bahwa tingkat kesadaran pengelolaan lingkungan hidup masih rendah dan harus menjadi perhatian serius oleh semua. Harus disadari bersama bahwa kualitas lingkungan hidup dan kualitas sumberdaya manusia saling mempengaruhi. Kualitas lingkungan hidup yang baik akan berdampak pada peningkatan kualitas sumberdaya manusia, sebaliknya ketika kualitas sumberdaya alam rendah, maka dampak negatifnya pasti akan muncul dan memperburuk pula kualitas kehidupan manusia, baik secara cepat maupun lambat.

Problematika lingkungan hidup yang sangat serius dan kini menjadi fenomena dunia adalah pemanasan global. Fenomena ini begitu nyata dengan adanya peningkatan suhu atmosfer bumi. Menurut data, suhu rata-rata global pada permukaan bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 oC (1.33 ± 0.32 oF), yang diakibatkan oleh meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktifitas manusia. Dampak buruk dari fenomena ini sangat mengganggu keberlangsungan makhluk hidup, seperti terjadinya perpindahan habitat, iklim yang tidak stabil dan lainnya. Dengan demikian, sangat tepat bahwa penanganan permasalahan ini harus terus digalang dan digerakkan.

Dalam upaya turut menjaga kualitas lingkungan hidup tersebut, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) sebagai salahsatu partai yang lahir di era reformasi telah mentransformasikan dirinya sebagai Partai Hijau. Identitas sebagai Partai Hijau tersebut dideklarasikan oleh Ketua Umum Dewan Syuro DPP PKB, K.H. Abdurrahman Wahid bersama Ketua Umum DPP PKB Muhaimin Iskandar pada tanggal 26 Pebruari 2007 di Bali. Penegasan identitas tersebut bukan karena didasarkan atas warna kebanggaan masyarakat Nahdlatul Ulama (NU), melainkan sebagai partai yang turut peduli terhadap kelestarian lingkungan hidup untuk keselamatan bumi. Transformasi partai ini tentu membutuhkan konsistensi gerak partai dalam membangun kondisi bumi yang lebih baik, bersama elemen lainnya.

“Organisasi Hijau” dan Perjuangan Lingkungan Hidup
Sebagaimana PKB, organisasi atau partai lainnya yang telah bergerak sebagai organisasi atau partai penggiat lingkungan hidup sudah banyak bermunculan, baik di dalam negeri maupun di luar negeri. Untuk di Indonesia, telah lahir organisasi sosial politik –lebih tepatnya partai politik- yang berbasis perjuangan menggunakan prinsip lingkungan. Organisasi itu bernama Partai Hijau Indonesia, yang dideklarasikan pada tanggal 21 Oktober 1998 oleh Dr. Rer. Nat. H. Widyatmoko dan lainnya. Partai ini berwawasan lingkungan dan memperjuangkan kualitas kehidupan bagi seluruh generasi manusia Indonesia dan seluruh umat manusia. Dalam perjalanannya sampai sekarang, partai ini belum pernah mengikuti kancah demokrasi 5 tahunan sebagai partai peserta pemilu.

Sedangkan partai hijau yang berwawasan lingkungan di luar negeri bisa dijumpai di negara Cina, Austria dan negara-negara belahan Eropa lainnya. Perjuangan mereka bertumpukan pada pengembangan kualitas sumberdaya alam dan lingkungan hidup. Berdasarkan realitas politik di lapangan, platform lingkungan yang dipegang tersebut kurang menarik suara masyarakat dalam pemilihan umum. Meski mendulang suara kecil, namun prestasi ini lebih baik dibandingkan dengan kiprah politik Partai Hijau Indonesia yang belum pernah ikut pemilihan sekali pun. Berbeda dengan PKB yang baru mengidentitaskan dirinya sebagai Partai Hijau pada 3 (tiga) tahun yang lalu dan terus berperan dalam kancah perpolitikan bangsa melalui pemilihan umum.

Selain partai politik, banyak juga muncul organisasi hijau yang lahir dari masyarakat yang bergerak di bidang lingkungan hidup. Salahsatu organisasi hijau yang sangat dikenal di kancah internasional adalah Greenpeace. Organisasi ini bersifat independen yang didirikan pada tahun 1971 di Kanada. Perjuangannya didasarkan pada gerakan kampanye anti kekerasan dalam mengungkap permasalahan lingkungan global dan upayanya untuk mewujudkan masa depan dunia yang hijau (green) dan damai (peace). Salahsatu karakteristik organisasi ini terletak pada kekuatan pendanaan yang bersumber dari anggota dari seluruh dunia, yang diperkirakan mencapai jutaan orang. Greenpeace mempunyai kantor regional dan nasional di berbagai negara, yang semuanya berhubungan dengan pusat Greenpeace Internasional di Amsterdam. Greenpeace Asia Tenggara resmi didirikan pada tanggal 1 Maret 2000.

Selain Greenpeace, ada organisasi hijau lainnya di dunia yang sudah populer di mata dunia, yang dikenal dengan nama World Wildlife Fund (WWF). WWF merupakan organisasi lingkungan yang didirikan pada tanggal 1 September 1961 oleh beberapa orang, diantaranya Sir Julian Huxey dan lainnya yang bertujuan untuk melindungi keanekaragaman (genetis, spesies dan ekosistem), menjaga keseimbangan dalam penggunaan sumberdaya alam dan mengurangi polusi serta konsumsi yang tidak berguna. Organisasi ini sudah mempunyai puluhan organisasi nasional dan kantor pusatnya berada di Gland, Swiss. Untuk di Indonesia, terbentuk organisasi serupa dengan nama WWF-Indonesia. Selain itu, ada pula organisasi hijau lainnya yang sudah cukup terkenal dalam gerakan lingkungan hidup di Indonesia, yaitu Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi).

Greenpeace, WWF, Walhi dan organisasi hijau lainnya secara umum berjuang dalam komitmen yang sama untuk melestarikan lingkungan hidup guna terwujudnya kualitas kehidupan yang lebih baik. Metode perjuangan organisasi hijau dilakukan dengan berbagai bentuk, misalnya kampanye hijau anti kekerasan, melobi pemerintah dalam menyikapi isu-isu energi dan lingkungan hidup, seruan anti pengrusakan hutan, diskusi atau seminar lingkungan hidup dan model gerakan lainnya. Gerakan tersebut ada yang dilakukan dalam skala lokal, regional maupun global.

Beberapa contoh gerakan yang dilakukan Greenpeace dan organisasi hijau adalah kampanye untuk menghentikan pengujian nuklir angkasa dan bawah tanah, kampanye menghentikan penangkapan ikan paus besar-besaran, menghentikan importasi limbah berbahaya, menentang pengiriman radioaktif, berkampanye melawan terhadap pembinasaan hutan, melobi pemerintah mengenai isu-isu energi berkelanjutan, menyoroti bahaya limbah pembakaran dan lainnya.

Platform Lingkungan Hidup dan Pemanasan Global
Platform beberapa organisasi dan partai politik yang berhaluan hijau dan berwawasan lingkungan hidup sejatinya harus bisa dirasakan dan diikuti oleh masyarakat luas. Entitasnya jangan sekedar simbolistik dan perlu langkah transformasi aksi yang real di lapangan. Salahsatu faktor penghambat transformasi aksi tersebut adalah kurangnya kesadaran individu atau elemen lainnya dalam usaha penyelamatan bumi. Orang-orang yang masuk dalam kelompok ini belum punya rasa sensitifitas dan kekhawatiran apapun atas apa yang sedang dan akan terjadi di bumi.

Di sisi lain, konstruksi kerja yang dilakukan terkadang sekedar membangun image organisasi atau partai politik. Kontruksi ini hanya untuk meningkatkan nilai tawar dan popularitas diri di tengah-tengah perkembangan sosial politik bangsa. Usahanya cenderung memancing ketertarikan masyarakat untuk mendukung dan masuk menjadi anggota organisasi atau partai tetapi secara real perjuangan hijau-nya belum bisa dirasakan dan dinikmati masyarakat luas. Dengan kondisi ini, maka keinginan terwujudnya kualitas lingkungan hidup tentu tidak bisa maksimal.

Memperhatikan kualitas lingkungan hidup maka harus memperhatikan pula pengelolaan sumberdaya alamnya. Realitasnya, pengelolaan sumberdaya alam di berbagai tempat terkadang belum memperhatikan keseimbangan dengan alam. Ini menandakan masih buruknya pola hidup manusia yang cenderung tidak peduli dengan kualitas lingkungan hidup. Untuk kasus di Indonesia, biasanya terjadi pada kegiatan eksplorasi minyak bumi dan gas (migas), hutan dan kelautan. Ini terlihat dari beberapa peristiwa yang terjadi selama ini, seperti adanya pengrusakan hutan, penggunaan bahan peledak dalam proses penangkapan ikan, penggalian minyak, pembuangan limbah industri yang tidak benar, atau pertambangan lainnya yang merusak alam. Yang lebih memprihatinkan, pola eksplorasi sumberdaya alam sebagian dilakukan oleh perusahaan-perusahaan asing yang bercokol di Indonesia dan keuntungan yang didapatkan bangsa Indonesia tidak sepadan dengan keuntungan yang didapatkan perusahaan tersebut.

Efek dari kebiasaan pola buruk pada sumberdaya manusia itu tentu berdampak langsung pada buruknya kualitas lingkungan hidup. Efek negatif yang sedang menjadi fenomena dunia sekarang ini adalah pemanasan global, yaitu terjadinya proses peningkatan suhu rata-rata pada atmosfer, laut dan daratan bumi. Penyebab peristiwa ini adalah adanya efek rumah kaca, ketika konsentrasi jumlah gas rumah kaca melebihi batas. Gas rumah kaca merupakan gas yang menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang matahari yang dipancarkan atau dipantulkan bumi. Dalam batas yang normal, efek rumah kaca tentu sangat berguna ketika bisa menyerap cahaya matahari menjadi panas kemudian menghangatkan bumi.

Tetapi jika konsentrasi gas-gas rumah kaca di dalam atmosfer semakin meningkat atau berlebihan, misalnya bertumpuknya uap air, karbondioksida dan metana, maka gas rumah kaca tersebut akan menjadi perangkap gelombang yang dipancarkan bumi. Akibatnya panas tersebut akan tersimpan di permukaan bumi dan jika keadaan ini terus menerus terjadi maka akan mengakibatkan terjadinya suhu rata-rata tahunan bumi terus meningkat atau pemanasan global.

Untuk menghindar dari pengaruh pemanasan global, tentu tidak mudah mengingat kondisi alam sudah begitu parah. Berdasarkan hasil “Intergovernmental Panel on Climate Change” tahun 2007, pemanasan dan kenaikan air muka laut diperkirakan akan terus berlanjut selama lebih dari seribu tahun walaupun tingkat emisi gas rumah kaca telah stabil. Sumbangan metana pada gas rumah kaca diyakini lebih berbahaya daripada karbondioksida, dan gas metana ini sebagian besar disumbangkan dari peternakan hewan, yang populasinya lebih banyak daripada populasi penduduk di bumi.

Data menunjukkan sebagaimana laporan PBB (FAO) yang berjudul Livestock’s Long Shadow: Enviromental Issues and Options (dirilis bulan November 2006), PBB mencatat bahwa industri peternakan adalah penghasil emisi gas rumah kaca yang terbesar (18%), jumlah ini lebih banyak dari gabungan emisi gas rumah kaca seluruh transportasi di seluruh dunia (13%). Laporan terbaru World Watch Institut tahun 2009 yang berjudul Peternakan dan Perubahan Iklim, menyatakan bahwa peternakan menghasilkan sedikitnya 51 % dari Gas Rumah Kaca dunia. Ironisnya, konsumsi daging sebagai produk peternakan masih cukup tinggi. Dengan pola konsumsi daging yang tinggi tersebut akan menyebabkan peternakan semakin besar dan berdampak pada kuantitas gas metana yang tinggi. Ini yang harus dihindari dan beralih pada konsumsi vegetarian demi mengurangi dampak pemanasan global.

Jika permasalahan pemanasan global tersebut tidak segera ditangani, maka banyak sekali kejadian di bumi yang akan kena dampaknya. Beberapa dampak itu antara lain meningkatnya suhu global, perubahan cuaca yang drastis yang berujung pada gagal panen dan munculnya penyakit, mencairnya gunung-gunung es, hilang atau pindahnya habitat, kebakaran hutan dimana-mana dan dampak buruk lainnya.

Membumikan Gerakan Hijau di Indonesia
Mengingat dampak yang serius dari pemanasan global dan kerusakan lingkungan hidup lainnya, maka kelestarian lingkungan hidup harus menjadi perhatian bersama. Tidak sekedar berplatform hijau, tetapi perlu kerja real, sistemik dan komprehensif dari seluruh elemen dalam usaha bersama menjaga lingkungan hidup demi kualitas kehidupan yang lebih baik. Tidak hanya Partai Hijau Indonesia, Walhi, WWF atau PKB yang bergerak dalam hal ini, tetapi seluruh elemen bangsa harus bergerak bersama dalam gerakan hijau di Indonesia. Gerakan hijau ini sejalan dengan amanat UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup.

Gerakan hijau yang dilakukan tersebut diharapkan bisa efektif dalam menjaga kualitas lingkungan hidup, minimal bisa mengurangi dampak pemanasan global dengan cara menghilangkan atau mengurangi kadar gas rumah kaca. Dengan demikian, bentuk kerja yang dilakukan pada dasarnya adalah mengurangi kadar gas karbondioksida dan gas metana sebagai sumber terjadinya gas rumah kaca. Langkah mengurangi dampak pemanasan global ini merupakan langkah yang realistis mengingat peristiwa pemanasan global terjadi secara alami dan sangat susah diantisipasi di masa mendatang.

Berdasarkan dampak yang terjadi, gerakan hijau tersebut terbagi menjadi gerakan langsung dan tidak langsung. Gerakan langsung merupakan aksi atau gerakan yang berdampak langsung pada pengurangan gas karbondioksida dan/atau metana. Sebaliknya, gerakan tidak langsung adalah gerakan yang secara tidak langsung berdampak pada pengurangan gas karbondioksida dan/atau metana. Dalam gerakan langsung dan tidak langsung tersebut memuat unsur pencegahan (preventif), penanganan/penanggulangan (kuratif) dan pemulihan (rehabilitasi). Sedangkan menurut Surwandono, dalam kolomnya yang berjudul “Partai Hijau dan Deviasi Makna”, langkah partai hijau harus bersifat preventif, kuratif, advokatif dan rehabilitif terhadap lingkungan.

Contoh gerakan langsung dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup dan mengurangi produksi gas rumah kaca antara lain gerakan menanam dan memelihara pepohonan serta reboisasi, gerakan pola konsumsi vegetarian dan gerakan hemat energi. Ketiga gerakan ini sangat efektif dalam meredam jumlah konsentrasi gas-gas rumah kaca yang bersumber dari karbondioksida dan metana. Gerakan menanam pohon dimaksudkan untuk menjaga kelestarian pepohonan yang sangat efektif dalam menyerap karbondioksida, memecahnya melalui fotosintesis dan menyimpan karbon dalam kayunya. Di sisi lain, tingkat perambahan hutan di belahan dunia, termasuk di Indonesia tergolong cukup parah. Langkah pendukung dalam gerakan ini adalah program reboisasi atau penghutanan kembali dalam upaya mengurangi semakin bertambahnya gas rumah kaca.

Gerakan pola konsumsi vegetarian dimaksudkan untuk mengganti pola konsumsi daging yang selama ini cukup tinggi. Bidang peternakan sebagai pemroduksi daging selama ini dikenal sebagai penyumbang gas metana melalui kotoran ternak dan nafas mereka. Dengan mengurangi pola konsumsi daging dan berganti menjadi pola vegetarian tentu akan mengurangi permintaan daging di masyarakat dan jumlah populasi ternak juga akan menurun. Selain daging, produk peternakan lainnya yang perlu dikurangi konsumsinya adalah susu dan telur.

Gerakan hemat energi merupakan langkah pencegahan untuk mengurangi dampak pemanasan global yang lebih parah di masa yang akan datang. Bentuk aksi hemat energi bisa diterapkan dengan cara menghemat penggunaan listrik, bahan bakar minyak, penggunaan kendaraan pribadi, penggunaan AC dan penggunaan fasilitas lainnya. Dalam hal penggunaan bahan bakar, program pemerintah dalam hal konversi minyak ke gas sangat lah tepat karena sangat ramah terhadap lingkungan.

Yang menjadi persoalan adalah teknis penggunaan yang kurang tersosialisasikan dengan baik sehingga pada titik-titik tertentu terjadi ledakan gas dan memakan korban jiwa. Sungguh hal ini sangat disayangkan. Dalam hal kendaraan pribadi, alternatif yang bisa digunakan adalah pemakaian sepeda, khususnya bagi para pengguna yang berjarak dekat dengan lokasi tujuannya. Program alternatif ini sudah diterapkan Pemerintah Kota Yogyakarta kepada siswa untuk bersekolah dan para pegawai untuk bekerja dengan nama program “Sepeda Nggo Sekolah, Nggo Nyambut Gawe” atau Sego Segawe.

Sedangkan gerakan tidak langsung dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup, khususnya dalam hal pengurangan dampak pemanasan global antara lain berupa kebijakan politik pro lingkungan hidup, kegiatan-kegiatan dini penanggulangan bencana, perawatan habitat tumbuhan dan hewan pada tempat yang sesuai, kerjasama internasional di bidang pengurangan emisi gas rumah kaca bagi negara-negara industri dan usaha lainnya yang berdampak pada berkurangnya gas rumah kaca secara tidak langsung.

Dalam hal menjaga habitat dan mengatasi kerusakan yang ada, sebagian negara membangun dinding dan penghalang untuk mencegah masuknya air laut. Hal ini untuk mengantisipasi dampak dari pemanasan global yang akan datang. Kebijakan-kebijakan lainnya tentu diselaraskan dalam usaha kelestarian alam, seperti yang sudah diatur oleh Pemerintah dalam bentuk Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup. Dalam hal kerjasama internasional, dilakukan perjanjian untuk pengurangan karbondioksida dengan cara mengurangi prosentase jumlah emisi gas rumah kaca, khususnya bagi negara-negara penyumbang emisi di negara-negara industri, seperti pada Earth Summit di Rio de Janeiro, Brazil pada tahun 1992 dan Protokol Kyoto di Jepang pada tahun 1997.

Gerakan hijau baik secara langsung maupun tidak langsung, juga sudah dilakukan oleh PKB sebagai partai politik yang telah mentransformasikan dirinya sebagai partai hijau, meski belum mencapai hasil maksimal. Sebagaimana yang disampaikan oleh Ketua Umum DPP PKB, Muhaimin Iskandar saat deklarasi Partai Hijau, gerakan hijau oleh PKB dilakukan dengan tiga cara, yaitu pertama, mendorong pembangunan nasional berorientasi lingkungan; kedua, mendorong dan mengawal pelaksanaan kebijakan politik melalui UU atau peraturan terkait lingkungan dan ketiga, menggerakkan massa pendukung sebagai kader penyelamat lingkungan. Gerakan PKB ini harus diapresiasi oleh masyarakat luas sebagai langkah nyata dalam kepedulian bersama mewujudkan kualitas kehidupan yang lebih baik, khususnya di Indonesia.

Gerakan hijau di atas tentunya harus didorong dan dilaksanakan, tidak hanya oleh organisasi atau partai penggiat lingkungan hidup saja, melainkan segenap lapisan masyarakat Indonesia sehingga diharapkan pada masa mendatang bisa mengurangi dampak negatif terjadinya pemanasan global secara signifikan dan meningkatkan kualitas kehidupan manusia yang lebih baik. Semoga.

Jakarta, 18 Juli 2010
*Tulisan lawas ini untuk memeriahkan Lomba Menulis Artikel Tingkat Nasional 2010 oleh DPP PKB pada Harlah XII tahun 2010″ (Gambar2 diambil dari berbagai sumber)


http://kompasiana.com/agusmaulana


Baca selengkapnya ...

Papua, Problematika dan Percepatan Pembangunan untuk Bangsa

Oleh : Agus Maulana*

"Oleh karena masih ada salah satu wilayah daripada Republik Indonesia diduduki oleh pihak asing, oleh karena salahsatu wilayah daripada Republik Indonesia masih belum merdeka, maka kita anggap satu kewajiban yang teramat untuk memasukkan daerah yang masih diduduki oleh pihak asing itu ke dalam kekuasaan Republik Indonesia”
(Pidato Bung Karno pada saat pelantikan Oemardhani sebagai Kepala Staf Angkatan Udara tanggal 20 Januari 1962 di Istana Negara, Jakarta)


Bangsa Indonesia meyakini bahwa menjaga kedaulatan bangsa adalah inti dari gerakan pembebasan tanah Papua (dulu disebut Western New Guinea). Hal ini sebagaimana bunyi penggalan pidato Bung Karno di atas. Pidato tersebut juga merupakan penegasan kembali argumentasi Bung Karno untuk mengajak rakyat Indonesia melakukan operasi pembebasan Papua dari tangan Belanda. Ajakan tersebut disampaikan pada tanggal 19 Desember 1961 melalui amanat Trikora-nya di Alun-alun Utara Kota Yogyakarta.

Bung Karno berpendirian bahwasanya kedaulatan Papua berada di tangan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sejak proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, yang meliputi wilayah Hindia Timur Belanda. Meski pihak pemerintah Belanda membantah hal ini, namun pihak Indonesia terus berjuang untuk membebaskan Papua tersebut dari Belanda, baik melalui perang diplomasi, ekonomi maupun militer. Dibalik berbagai rentetan sejarah tersebut, perjuangan bangsa Indonesia akhirnya membuahkan hasil dengan (kembali) masuknya Papua ke kedaulatan NKRI.

Hasil perjuangan itu ditandai dengan diserahkannya urusan administrasi secara penuh dari Belanda kepada Indonesia melalui United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) pada tanggal 1 Mei 1963. Kemudian pada tahun 1969, dilakukan suatu peristiwa bersejarah guna menentukan masa depan Papua secara demokratis, yaitu Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) di bawah pengawasan PBB. Hasil proses itu memutuskan bahwa Papua secara bulat bergabung ke dalam wilayah NKRI.

Setelah peristiwa integrasi tersebut, Papua resmi terdaftar sebagai provinsi ke-26 bagian dari NKRI dengan nama Irian Barat. Pada tahun 1974, nama Irian Barat berubah menjadi Irian Jaya sampai dengan tahun 2002. Terakhir, namanya menjadi Papua lagi dan pada perkembangannya, kini Papua terbagi menjadi dua provinsi, yaitu Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.


Mutiara Bangsa dan Problematika
Selain kedaulatan sebagai faktor utama pembebasan, para pemimpin negeri ini menyadari bahwa di dalam ”perut bumi” Papua, terdapat suatu mutiara bangsa. Mutiara bangsa itu berupa kekayaan alam Papua, yang menjadi modal pembangunan bangsa dan tanah Papua sendiri. Oleh karena itu, Papua harus dijaga, dilindungi dan diselamatkan demi kepentingan bangsa dari pihak manapun.

Kekayaan Papua meliputi keberagaman suku (etnis) dan adat istiadat (budaya), aneka flora fauna dan sumber daya alamnya. Tercatat, lebih dari 250 suku asli dengan ragam bahasanya yang mewarnai kehidupan masyarakat Papua. Suku-suku di Papua antara lain Suku Aitinyo, Suku Aefak, Suku Asmat, Suku Agast, Suku Dani, Suku Ayamaru, Suku Mandacan, Suku Biak, Suku Serui, Suku Mee, Suku Amungme, Suku Kamoro. Adapun kekayaan alam Papua meliputi pertambangan, perikanan, kehutanan dan lainnya.

Dalam sektor pertambangan, bahan alamnya antara lain tembaga, emas, biji besi, batu bara, minyak bumi dan gas alam cair. Bahkan, sejak tahun 1967 terdapat PT. Freeport Indonesia, sebuah perusahaan tambang emas terbesar dunia yang bertempat di Kabupaten Mimika. Menurut sumber media detikfinance (23/5), perusahaan tambang ini telah menyetorkan kewajibannya kepada pemerintah Indonesia sebesar US$ 678 juta atau sekitar Rp 5,8 triliun sepanjang triwulan I-2011. Setoran ini terdiri dari pajak, royalti, dan dividen.

Meskipun Papua sangat kaya dengan sumber daya alamnya, tetapi realitas pembangunan mengatakan bahwa Papua belum berkembang sebagaimana harapan masyarakat pada umumnya. Padahal, dari segi pemerintahan, Papua telah mengalami 14 periode kepemimpinan gubernur sejak Zainal Abidin Syah tahun 1956 hingga sekarang tahun 2011, yang dipimpin oleh Barnabas Suebu. Bahkan sejak tahun 2001 Papua diberlakukan Otonomi Khusus (Otsus) bagi Provinsi Papua berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2001, berikut implikasinya berupa dana Otsus. Dari segi letak geografis pun, Papua merupakan pintu gerbang perdagangan dengan negara-negara Asia Pasifik.

Kurang berhasilnya pembangunan di Papua bisa dilihat dari data statistik yang ada. Dari segi tingkat kemiskinan dan pengangguran, jumlah warga miskin di tanah Papua semakin meningkat dari tahun ke tahun. Tercatat pada tahun 2010 (Maret), jumlah penduduk miskin Papua sebesar 761.620 jiwa (36,80 persen). Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya 2009 sebesar 760.350 jiwa. Sedangkan jumlah pengangguran di Papua pada tahun 2010 (Agustus) sekitar 53,6 ribu jiwa (3,55 persen).

Dari segi Indeks Pembangunan Manusia (IPM), nilai IPM Provinsi Papua masih menempati peringkat ke-33 atau terendah se-tanah air sebesar 64,53 pada tahun 2009. Meski demikian, angka ini mengalami kenaikan dibandingkan tahun 2008 sebesar 64,00. Kenaikan angka tersebut dipengaruhi oleh seluruh komponen pembentukannya, seperti komponen angka harapan hidup naik sebesar 0,25 tahun, angka melek huruf naik 0,17 persen, angka rata-rata lama sekolah naik sebesar 0,05 tahun, dan daya beli masyarakat naik sebesar Rp 4.229.

Dari segi pertumbuhan ekonomi terjadi perlambatan. Pada tahun 2010 terjadi pertumbuhan sebesar -2,65 persen, dibandingkan pada tahun 2009 mampu tumbuh sebesar 22,74 persen. Sedangkan pertumbuhan ekonomi tanpa tambang pada tahun 2010 sebesar 11,98 persen melambat dari tahun 2009 yang tumbuh 13,32 persen. Sebagai catatan, daya beli penduduk Papua pada tahun 2009 membaik dibandingkan tahun sebelumnya.

Dari segi pendidikan dan kesehatan masih harus ditingkatkan lagi. Pada tahun 2009, lebih dari 75,58 persen penduduk Papua sudah dapat membaca dan menulis, dan rata-rata lama sekolahnya sampai dengan kelas 1 setingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau 6,57 tahun. Dari segi kesehatan, jumlah perbandingan kasus HIV/AIDS dengan jumlah penduduk (revalensi), Papua masih menempati posisi tertinggi di tanah air dibandingkan dengan provinsi lainnya. Kondisi di atas tentu harus menjadi perhatian serius bagi gubernur, para bupati dan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di Papua untuk memperhatikan rakyat, termasuk mereka yang ada di kampung-kampung melalui program pembangunan yang sudah ada, seperti Rencana Strategi Pembangunan Kampung (Respek).

Selain data di atas, hal yang menjadi sangat serius bagi pertumbuhan Papua adalah masih sering terjadinya tindak kekerasan yang bersifat SARA dan gerakan Pro-Merdeka (Pro-M) oleh sebagian masyarakat Papua yang mengarah pada disintegrasi NKRI. Bahkan, realitas di lapangan menunjukkan gerakan Pro-M tersebut tidak saja dilakukan dengan pendekatan politik, tetapi juga militer, yang umumnya dilakukan oleh anggota Tentara Pembebasan Nasional/Organisasi Papua Merdeka (TPN/OPM). Kasus kekerasan terbaru, terjadinya penembakan terhadap mobil PT. Freeport Indonesia pada tanggal 6 April 2011 dan juga pembakaran pada kendaraan perusahaan yang sama di sekitar ruas jalan Tanggul Timur, Timika pada tanggal 7 April 2011, yang menewaskan dua orang karyawan perusahaan tersebut.

International Crisis Group (ICG), sebuah organisasi nirlaba, non-pemerintah, dan mandiri yang bekerja melalui analisis lapangan dan advokasi bagi pencegahan dan resolusi konflik, melalui laporannya Asia Report No188 – 11 Maret 2010 mencatat bahwa sepanjang tahun 2009 sampai dengan 2010, terjadi peningkatan kekerasan politik. Menurut ICG, salahsatu penyebab tindak kekerasan politik tersebut adalah meningkatnya kegiatan para aktivis militan dari pegunungan tengah, yang mayoritas adalah anggota Komite Nasional Papua Barat (KNPB), dimana KNPB merasa bahwa perjuangan mencapai referendum kemerdekaan melalui jalan damai sudah tidak efektif.

Perkuatan dan Percepatan Pembangunan Papua
Peliknya berbagai permasalahan yang ada di Papua, tidak hanya menjadi tantangan bagi masyarakat Papua semata, tetapi juga tantangan serius bagi pemerintah pusat dalam mewujudkan kesejahteraan dan keamanan masyarakat di tanah Papua dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Oleh karena itu, diperlukan upaya percepatan pembangunan di tanah Papua melalui langkah-langkah perkuatan dan percepatan pembangunan di seluruh bidang kehidupan. Hal ini sebagaimana yang telah ditempuh pemerintah melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan Papua dan rencana pembentukan Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B).

Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam rangka percepatan pembangunan tersebut antara lain, pertama, masyarakat Papua harus membuka diri seluas-luasnya adanya ruang heterogenitas dalam berbagai sisi di tanah Papua, baik dari segi suku, agama, budaya maupun lainnya. Konsekuensi dari langkah ini adalah pihak Pemerintah Papua (baik tingkat I maupun II) dan dinas/lembaga terkait harus melibatkan seluruh komponen masyarakat di Papua (baik asli lokal Papua maupun non-Papua) dalam pembangunan di tanah Papua. Meski demikian, dalam ruang-ruang tertentu perlu ada kebijakan khusus terkait keberadaan orang asli Papua demi menjaga martabat masyarakat Papua, baik dalam bentuk Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) maupun Peraturan Daerah Khusus (Perdasus), dan tetap memperhatikan sinkronisasi peraturan pada perundang-undangan yang lain.

Kedua, masyarakat Papua perlu menyadari dan memahami sepenuhnya bahwa kebijakan-kebijakan pemerintah pusat dalam rangka percepatan pembangunan Papua merupakan niat nyata dan serius oleh pemerintah pusat dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat Papua di segala bidang kehidupan. Kebijakan-kebijakan tersebut seperti yang telah dituangkan dalam bentuk UU Otsus Papua dan Inpres Nomor 5 Tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Konsekuensi dari langkah ini adalah segenap komponen masyarakat Papua mendukung dan turut berperan serta mengimplementasikan kebijakan tersebut dengan baik untuk mencapai sasaran yang diharapkan, termasuk mendukung rencana kebijakan baru pemerintah pusat dalam membentuk Unit Percepatan Pembangunan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (UP4B).

Dalam Inpres Nomor 5 Tahun 2007 disebutkan bahwa langkah percepatan pembangunan di Provinsi Papua dan Papua Barat memperhatikan pendekatan kebijakan baru (the new deal policy for Papua), dengan prioritas pemantapan ketahanan pangan dan pengurangan kemiskinan; peningkatan kualitas penyelenggaraan pendidikan; peningkatan kualitas pelayanan kesehatan; peningkatan infrastruktur dasar guna meningkatkan aksesibilitas di wilayah terpencil, pedalaman dan perbatasan negara; dan perlakuan khusus (affirmative action) bagi pengembangan kualitas sumberdaya manusia putra-putri asli Papua.

Ketiga, masyarakat Papua harus senantiasa mengedepankan nilai-nilai persatuan dan kesatuan bangsa di tanah Papua dalam bingkai NKRI. Konsekuensi dari langkah ini adalah seluruh komponen masyarakat menghindari diri dari segala kegiatan yang mengarah pada upaya disintegrasi bangsa, anarkisme, gerakan-gerakan politik dan kekerasan yang mengarah “Pro-Merdeka” serta tidak terjebak oleh provokasi-provokasi negatif terhadap pemerintah, baik yang dilakukan oleh perseorangan maupun kelompok yang tidak bertanggung jawab.

Keempat, Pemerintah dan masyarakat Papua mendorong terciptanya penegakan hukum positif secara adil dan tegas dalam penyelesaian masalah di tanah Papua dengan tetap memperhatikan adat setempat. Hal ini cukup beralasan karena sebagian masyarakat tertentu di Papua memandang sebelah mata penyelesaian dengan jalur hukum positif. Menurut pandangan mereka, hukum adat terkadang lebih memungkinkan adanya rasa keadilan atas hukuman atau denda bagi pelaku. Kondisi ini pada umumnya dilatarbelakangi oleh adanya unsur ketidakpercayaan masyarakat terhadap praktek pengadilan yang ada.

Kelima, Pemerintah Papua mampu mengemban amanah yang dipercayakan oleh pemerintah pusat dalam rangka mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Perwujudan langkah ini antara lain dengan mengoptimalkan dana Otsus sebesar-besarnya dari pemerintah pusat untuk pembangunan masyarakat Papua secara adil dan merata, mampu menjadi sarana pendengar dan penyalur aspirasi yang baik bagi masyarakat Papua serta tidak menyelewengkan tugas pokok dan fungsi serta jabatannya.

Rendahnya tingkat pembangunan di Papua disinyalir diakibatkan juga oleh adanya penyalahgunaan wewenang serta tugas para elitnya, baik melalui tindakan korupsi, maupun kebijakan-kebijakan yang tidak menyentuh masyarakat lapis bawah. Di sisi lain, pemerintah pusat juga harus terus melakukan koordinasi dan pemantauan terhadap kondisi pembangunan di tanah Papua, baik dari segi kebijakan, pengalokasian anggaran, maupun pengembangan sumber daya manusia-nya.

Keenam, segenap elit dan tokoh masyarakat Papua, baik Gubernur, DPRP maupun Majelis Rakyat Papua (MRP) bersama-sama secara aktif membangun Papua dengan penuh jalinan kebersamaan, keterpaduan, kesepahaman dan kepercayaan. Selama ini, acap kali terjadi benturan dan ketidakpercayaan antar elit di Papua sehingga sedikit banyak menghambat rencana pembangunan di tanah Papua. Dalam kebijakan-kebijakan strategis di Papua, selain keterlibatan unsur eksekutif dan legislatif, juga melibatkan MRP yang mempunyai kewenangan strategis sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 54 Tahun 2004.

Ketujuh, Pemerintah Papua perlu mengoptimalkan dan memberdayakan segala potensi lokal Papua secara serius untuk kemajuan tanah Papua. Langkah ini bisa diwujudkan dalam bentuk program peningkatan investasi daerah, pengembangan usaha-usaha lokal yang produktif, peningkatan prestasi olahraga, pengembangan objek wisata, dan peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui program pendidikan dan pelatihan. Dengan memperhatikan luasnya geografis Papua disertai topografis wilayah yang terdiri dari pegunungan dan pesisir pantai, Papua mempunyai tantangan tersendiri dalam mewujudkan program-program pembangunan tersebut.

Kedelapan, seluruh komponen masyarakat Papua, khususnya elit Papua diharapkan dapat memahami, mengerti dan mematuhi segala produk peraturan perundangan-undangan yang berkaitan dengan Provinsi Papua secara baik dan utuh, baik peraturan yang bersifat umum maupun khusus. Beberapa peraturan perundangan-undangan tersebut antara lain UU Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (telah diubah dengan UU Nomor 35 tahun 2008), UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, PP Nomor 54 Tahun 2004 tentang MRP, dan Inpres No. 5 Tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.

Terakhir kesembilan, masyarakat Papua diharapkan senantiasa mengedepankan jalur dialog atau proses komunikasi dua arah dengan pihak pemerintah pusat/daerah. Proses dialog ini tetap diarahkan dalam rangka mencari penyelesaian secara baik dan menyeluruh untuk menjaga situasi tetap kondusif dalam wadah NKRI.

Penulis meyakini bahwasanya ketika langkah-langkah perkuatan dan percepatan pembangunan tersebut dilakukan secara konsisten, aktif dan berkelanjutan, maka bukan tidak mungkin, dalam beberapa dekade ke depan, Papua termasuk salahsatu provinsi dengan tingkat peradaban yang sejajar dengan provinsi lainnya di Indonesia. Oleh karena itu, diharapkan seluruh elemen masyarakat Papua bersatu padu dalam gerak dan fikiran untuk membangun Papua mewujudkan kesejahteraan masyarakat Papua. Meski langkah-langkah tersebut secara realitas berat untuk dilaksanakan, tapi segala sesuatunya harus dicoba, bukan?


*Penulis adalah pengamat sosial politik, alumni Akademi Sandi Negara. Sekarang berdinas di salahsatu instansi pemerintah, Jakarta.


Baca selengkapnya ...