.: My Letters 4 My Life :.

09 September 2005

Kritik atas Wajah Eksklusivisme Da’wah

Dinul Islam

Oleh : A. Maulana *

“Dan hendaklah di antara kamu ada segolongan umat yang menyeru kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan melarang kepada yang munkar. Mereka adalah orang-orang yang beruntung”
(QS Ali Imran : 104)

Sebagaimana kandungan ayat di atas, bahwa amar ma’ruf nahi munkar merupakan amanat kita dalam menjalankan hidup di dunia ini. Oleh karena itu, amanat tersebut menjadi pesan inti dalam berda’wah bagi siapapun juga, asalkan tetap dalam bingkai mencari ridho Ilahi. Kegiatan da’wah yang seperti itulah yang akan selalu di dukung umat dan eksis dalam membangun umat secara keseluruhan. Namun, harapan terwujudnya masyarakat yang kuat baik iman, akhlak maupun tingkah laku belum sepenuhnya bisa tercapai secara merata dan berkeadilan. Hal ini dikarenakan ada semacam pola gerakan da’wah yang terjadi pada masyarakat muslim Indonesia sekarang ini yang berkesan eksklusivisme.

Pola eksklusivisme pada gerakan da’wah di masyarakat muslim Indonesia memang sudah tidak asing lagi dalam pendengaran kita, terutama masyarakat muslim kota berpendidikan. Namun, seiring perkembangan situasi dan kondisi masyarakat kita, pola atau sifat gerakan da’wah tersebut hanya menjadi wacana saja yang kadang timbul dan kadang tenggelam. Dalam artian hanya berupa anggapan, pendapat atau asumsi yang tidak harus dibuktikan kebenarannya meskipun sebagian masyarakat muslim kita sudah ada yang terang-terangan ‘berkutat’ dalam kondisi pro-kontra berikut argumennya masing-masing. Bahkan sebagian lagi (khususnya yang ikut dalam khalaqoh dan kharoqah) masih mencari dasar apakah benar pola da’wah yang dilakukannya selama ini bersifat eksklusif atau hanya sekedar pernyataan ‘bual’ saja yang sengaja dihembuskan oleh umat lain karena ketidaksenangan kepada mereka? Ini memang perlu dikaji lebih lanjut sebagai upaya pencarian terhadap metode yang efektif dan objektif dalam rangka pembangunan umat secara menyeluruh (totality society building).

Pada dasarnya, tulisan ini hanya menyajikan sebuah kritikan terhadap realitas pergerakan da’wah yang terjadi di masyarakat muslim Indonesia sekarang ini, termasuk pengaruhnya dalam pembangunan umat. Gambaran yang disampaikan nantinya hanya merupakan persepsi penulis semata berdasarkan pengamatan dan pengalaman yang mungkin masih jauh dari pepatah “makan garam” . Tentu saja, pengkritikan ini dilandasi rasa kecintaan penulis terhadap makna dan inti ajaran da’wah yang sesungguhnya demi kemaslahatan umat sesuai dengan ajaran Al Quran dan Hadist.

Secara definisi, kata eksklusif mengandung arti istimewa, khusus, berbeda atau terpisah dengan yang lain. Sedangkan eksklusivisme adalah pandangan atau paham yang mempunyai kecenderungan untuk memisahkan diri dari masyarakat luas. Sedangkan realitanya bahwa pergerakan da’wah masyarakat muslim Indonesia, khususnya di kota-kota besar dan lainnya yang warganya berpendidikan, sebagian besar memang masih mempunyai kecenderungan “mengelompokkan diri” secara terpisah di dalam komunitas muslim Indonesia yang sangat beragam dan banyak jumlahnya ini, meskipun seringkali disampaikan secara eksplisit atau tertulis bahwa objek atau sasaran dari berbagai acara yang digelar itu (da’wah) untuk masyarakat umum.

Beberapa indikasi yang mengarah pada pola “pemisahan diri” itu antara lain bisa dilihat pada para pembicara da’wah yang berasal dari golongannya sendiri (satu kharoqah, partai), materi acara yang lebih diarahkan untuk membangun image golongannya sendiri, jama’ah dengan karakteristik unik atau berbeda dengan masyarakat pada umumnya (misalnya berjenggot panjang, panjang celana di atas mata kaki, dan lainnya) dan juga tempat kegiatan da’wah yang kurang populis atau dikenal oleh masyarakat (tetapi perkembangannya sekarang ini sudah cukup banyak yang dilaksanakan di masjid-masjid).

Jadi sulit bagi kita untuk memungkiri bahwa kharokah atau pergerakan da’wah sekarang ini – yang dimotori oleh kalangan anak-anak tarbiyah – masih terkesan eksklusif. Bahkan pada posisi dan waktu tertentu, acara tersebut sangat bernuansa politis, dalam artian mendudukkan acara sebagai bagian dari perjuangan partai untuk memperkuat dan meningkatkan basis massa partai, tentu sasaran akhirnya meningkatkan jumlah suara dalam pemilihan umum. Hal ini tentu sah-sah saja karena tidak ada aturan pemerintah yang mengatur secara khusus tentang penggunaan sarana da’wah bagi kepentingan partai tertentu.

Menurut penulis, hal utama yang menyebabkan munculnya pola eksklusivisme di atas adalah adanya perbedaan besar pada pandangan, budaya, pola pikir, tindakan, termasuk yang berkaitan dengan ibadah yang dibawa oleh golongan masyarakat tertentu dengan kondisi atau realita pada masyarakat sebelumnya. Kondisi perbedaan antar golongan yang bersifat terbuka (langsung berbaur di masyarakat) tentunya akan menerima implikasi langsung oleh masyarakat, yang biasanya berupa respon negatif karena sulit untuk menerima “barang baru”. Oleh karena itu, upaya untuk membawa da’wah seperti yang diinginkan ke dalam masyarakat umum dilakukan tahap demi tahap, yang pada awalnya tidak menampakkan langsung ke masyarakat sampai benar-benar masyarakat setempat yakin bahwa mereka tidak mengganggu bahkan berusaha membantu masyarakat itu sendiri, dan juga biasanya dilakukan dengan kelompok-kelompok kecil (sering disebut dengan khalaqah) yang terdiri atas satu murobbi (pengajar) dan beberapa orang saja yang menjadi murid, namun sambil mencari orang lain untuk menjadi anggota baru. Tentunya semua itu dengan pendekatan yang ekstra hati-hati agar tidak muncul persepsi negatif di tengah-tengah masyarakat terhadap gerakannya.

Sebagai sarana pembangunan karakter umat (society character building) - dalam hal ini umat Islam -, keberadaan khalaqoh atau perkumpulan da’wah memang sangat strategis. Dengan jadwal yang rutin, pembicara yang mumpuni, tempat khalaqoh yang luas dan nyaman (biasanya di masjid), agenda acara yang jelas dan terpadu serta hal-hal lainnya yang membuat kerasan jama’ah, khalaqoh menjadi sarana yang efektif dalam memperkuat dan memperdalam unsur ukhrawi jama’ah. Namun kegiatan tersebut juga bisa melebar menjadi sarana pembentukan kader partai yang handal untuk regenerasi dan konsolidasi atau pemantapan partai. Tentunya hal ini bukanlah niat yang baik dalam usaha membangun umat karena selain bernuansa eksklusif atau untuk kalangan tertentu saja (satu golongan atau partai), tetapi kadang juga mendistorsi cakupan nilai da’wah yang sangat banyak dan universal.

Alasan utama “menolak” eksklusifisme da’wah adalah adanya pengingkaran atau penolakan atas hak-hak individu (umat Islam) - baik yang dilakukan terang-terangan atau sembunyi - yang dilakukan oleh kelompok atau khalaqoh tertentu untuk ikut membangun nilai Islam (pengetahuan Islam, akhlak dan lainnya untuk meningkatkan nilai ukhrawi) secara bersama-sama dengan unsur umat Islam lain (yang tidak satu golongan, partai). Pengingkaran atau penolakan ini bisa ditemui dalam diskusi da’wah, media massa, acara-acara muhasabah dan lain-lain. Meskipun secara eksplisit terbuka untuk umum, tetapi pada hakikatnya itu hanya kemasan luar belaka yang sebenarnya bersifat terbatas dan ingin menarik jamaah sebanyak-banyaknya. Hal yang paling transparan dalam unsur eksklusivitas mereka adalah pernyataan atau kalimat yang menyatakan bahwa kegiatan tersebut untuk kalangan terbatas. Terbatas dalam hal ini adalah hanya untuk jama’ahnya mereka sendiri padahal, hak atas ilmu apapun merupakan hak tiap orang sehingga secara langsung khalaqoh tersebut membatasi hak umat dalam menuntut ilmu, terlebih ilmu-ilmu yang menunjang nilai keukhrawian. Dengan kata lain, setiap kegiatan da’wah sepatutnya benar-benar bisa dinikmati oleh umat secara merata dan jauh dari sifat diskriminasi terhadap umat atau golongan lain.

Dengan demikian, pergerakan da’wah yang kita butuhkan dalam membangun umat secara keseluruhan adalah pergerakan da’wah yang mempunyai pola efektif dan objektif. Gerakan da’wah yang benar-benar berlangsung dengan sistematis dan menyeluruh serta jauh dari pola diskriminasi umat sehingga tidak sekedar mengajak masyarakat dari lingkungan dalam kelompoknya sendiri, melainkan langsung berbaur pada masyarakat luas. Tentunya hal ini bisa terealisasikan jika niat segala kegiatan da’wah pada kita hanya untuk mencari ridho Allah swt semata dalam membangun umat yang akhlakul karimah.

Wallahu A’lam Bis Showab

*Anggota Komunitas Muda untuk Indonesia Bangkit (KOMMIT)

0 Comments:

Post a Comment

<< Home