.: My Letters 4 My Life :.

07 June 2006

Virus In Gus We Trust :
Sebuah Otokritik bagi Pembangunan Jiwa Muda NU

In Gus We Trust, inilah ungkapan yang sudah tidak asing lagi bagi muda Nahdliyyin dalam mengekspresikan keyakinannya terhadap Gus Dur. Tak jarang mereka yang masuk dalam generasi ini selalu mem-backup argumentasi Gus Dur tatkala ada sesuatu yang dirasa telah mendistorsi atau merusak citra Gus Dur. Dalam tataran sebuah masyarakat yang berserikat, dukungan terhadap sebuah tokoh adalah sebuah kewajaran meskipun pada tingkat tertentu bisa berakibat lahirnya sebuah rezim feodalisme yang mengekang dinamisasi serikat itu sendiri. Realitanya, kondisi ini hampir terjadi di belahan dunia manapun juga, termasuk di bumi pertiwi kita.

Keyakinan terhadap seorang tokoh memang sangat diperlukan dalam roda perjuangan. Hal ini berlaku untuk dimanapun kita berada, nyaris tidak mengenal ruang dan waktu. Di sisi lain, perjuangan dalam menjaga keyakinan tersebut memiliki dimensi yang beraneka ragam, ada yang bersifat individual, kelompok, emosional dan lain-lain. Lantas, dari dimensi mana yang masuk ke dalam “otak” sebagian muda Nahdliyyin yang begitu mengidolakan seorang Gus Dur?

Sebelum ke arah jawaban atas pertanyaan tersebut, maka patutlah kiranya kita mencoba menilik dari sosok seorang Gus Dur. Dalam dunia NU pada khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya, wacana dan kajian tentang beliau tak akan pernah selesai, bahkan ada yang beradagium seperti tanda baca koma pada sebuah kalimat, dengan kata lain belum pernah selesai. Lebih dahsyatnya lagi, sosok Gus Dur dianggap sebagai misteri ke empat Tuhan selain mati, jodoh dan nasib. Ya itu lah sebagian orang berkata.

Di sisi lain, yang mencoba membedah Gus Dur pun bersifat lintas regional, lintas agama, lintas golongan, lintas manapun juga. Ini tak lain dari sosok beliau yang bersifat multidimensi. Julukan kyai, budayawan, politikus, seniman dan lain-lain itu sungguh melekat dalam pribadi Gus Dur. Meskipun demikian, jukulan negatif terhadap beliau pun tak kalah banyaknya. Hal ini lah yang menjadi sisi tersendiri dalam hidup beliau.

Lahir sebagai generasi darah biru NU, kepiawaiannya dalam berpolitik, kecerdasannya dalam berpikir, kesederhanaannya dalam bertindak, keberaniannya dalam melangkah sampai kekuatannya dalam hujatan dan fitnah memberikan posisi tersendiri bagi warga NU, khususnya muda Nahdliyyin yang begitu mengidolakan beliau. Jadi kalau kita mau melihat dari dimensi mana mereka menjadi Gus Dur-ian -pengikut Gus Dur- sejati maka tergantung dari tiap diri mereka. Oleh karenanya, tidak usah heran jika ada sebagian orang di luar maenstream agama di Indonesia yang masuk dalam barisan Gus Dur-ian. Mungkin saja mereka melihat sosok Gus Dur sebagai pejuang HAM, pembela minoritas atau lainnya.

Pertanyaanya selanjutnya adalah apakah benar Gus Dur selalu berada dalam rel kebenaran? Untuk menjawab ini tentunya bukanlah sesuatu yang sulit, bahkan super gampang. Kita tak perlu susah payah mencari dalil atas kekurangan Gus Dur. Cukuplah kita yakin, bahwa No Body’s Perfect, bukan? Lalu sampai batasan mana pegangan keyakinan mereka dalam diri Gus Dur? Inilah yang tidak mungkin bisa digali oleh siapapun karena pada hakikatnya dukungan mereka bersifat subjektif dan pada tataran tertentu mungkin sebagian dari mereka tidak meyakini 100% bahwa langkah-langkah dari seorang Gus Dur adalah sebuah kebenaran.

Anda pasti ingat dengan kasus statement Gus Dur tentang Alqur’an adalah kitab suci paling porno sedunia, bukan? Di sinilah keyakinan Gus Dur-ian akan kebenaran dari seorang Gus Dur juga diuji. Meski kontroversialisme ini direspon Gus Dur dengan adanya kesalahpahaman dari para pembaca atau pendengarnya, namun tetap saja berbuah tidak sedap bagi warga NU dan Gus Dur-ian pada khususnya. Tidak sedikit Gus Dur-ian yang mengkritik atas statement tersebut, apalagi generasi muda NU lainnya yang jelas-jelas berhaluan lain. Tetapi bagaimana dengan Gus Dur-ian yang yakin 100% bahwa tidak ada yang perlu dipersoalkan dalam statement tersebut? juga mereka bilang bahwa kita tidak paham dengan statement tersebut? Salahkah mereka? Lalu kembali lagi, sejauh mana keyakinan mereka terhadap kebenaran Gus Dur itu? Tidak adakah yang perlu dipersoalkan dalam tingkah laku Gus Dur yang tidak jarang berbau kontroversial tersebut?

Menurut penulis, generasi NU yang bergerak tanpa adanya kritik konstruktif seperti gaya Gus Dur-ian di atas yang tidak pernah mempersoalkan hal-hal yang kontroversial adalah generasi Nahdliyyin yang terkena virus semboyan In Gus We Trust secara berlebihan, dan dikhawatirkan dalam kondisi tertentu mereka bisa menjadi generasi yang “super-taklid” meskipun mereka membantahnya. Mereka meyakini bahwa Gus Dur adalah sosok manusia agung seperti wali yang hidup dengan perjuangan dan fitnah. Gus Dur adalah sosok manusia suci yang tidak bisa dipahami oleh masyarakat awam. Gus Dur adalah sosok manusia cerdas tanpa batas. Sungguh, untuk dinamisasi dalam muda NU virus semboyan tersebut menyesatkan.

Kita menghormati beliau. Kita menghargai beliau. Tetapi kita juga punya hati nurani untuk berkata tidak pada sesuatu yang menurut kita sendiri tidak sesuai. Tak usah ragu untuk katakan tidak pada Gus Dur. Tak usah ragu untuk berkata bahwa saya tidak sependapat dengan Gus Dur. Juga tak usah ragu jika Anda memang ingin “melawan” Gus Dur. Semuanya sah-sah saja, bukan? Tetapi yang terpenting adalah bagaimana keyakinan kita, baik sesuai atau tidak dengan Gus Dur adalah keyakinan yang berdasar atas hati nurani kita sendiri. Keyakinan inilah yang melandasi bagi sebuah jiwa yang hidup dengan kritik konstruktif.

Lalu bagaimana membangun jiwa kritik konstruktif tersebut? Bagi saya pribadi adalah dengan memulai keyakinan awal bahwa tak ada manusia yang sempurna dalam hidup ini. Dari keyakinan ini, tentunya juga Anda yakin bahwa sosok Gus Dur adalah bagian dari ruang manusia yang pasti memiliki kesalahan. Langkah ini tidak lain adalah bagaimana kita berani membuang keyakinan In Gus We Trust karena pada hakikatnya hanya Allah al-Haq. Jika keyakinan ini sudah membumi dalam diri kita, maka membangun jiwa kritik konstruktif bagi muda Nahdliyyin bukanlah sesuatu yang sukar, bukan?.

Jakarta, 6 Juni 2006

2 Comments:

  • Baca tulisan sampeyan, saya merasa hampir sama dg yg saya rasakan. Mungkin cara berfikir kita terlalu simple, sehingga banyak hal yg harus kita tahu terlebih dulu sebelum menyikapi Sang Gus ini. Atau lebih tepatnya, tabayyun. Seperti sebuah buku yg pernah terbit bertajuk "Tabayyun Gus Dur". Sebuah buku yg menerjemahkan sikap dan ucapan beliau yg menjadi kontroversi saat itu. Dari tulisan sampean ini saya berfikir, banyak hal positif dan benar dari apa yg dilontarkan GD, tapi sekali lagi saya juga setuju bahwa tidak ada manusia yg tak salah kecuali Nabi dan Rosul yg memang dikaruniai ke-Ma'sum-an oleh Allah. So... sah2 saja kalo ada kritik. Dg kritik mungkin akan jadi lebih baik. Sportivitas harus tetap ada. Maaf kalo ada yg kurang berkenan. Tks, dan tetap nulis ya.... Salam - Ummine Fadhly

    By Anonymous Anonymous, at 5:35 PM  

  • boleh kasih comment dikit gak?
    kebetulan tulisan ni sama temanya dg paperku :) skalian menepati janji, mo ngasih paper

    DcVie

    By Anonymous Anonymous, at 11:00 AM  

Post a Comment

<< Home