.: My Letters 4 My Life :.

02 January 2007

Menjadi Diri Sendiri

Sebuah Cerpen Remaja II, untuk sekarang dan masa depan

Kehidupan dunia remaja sungguh menjadi problematika serius. Berbagai penyimpangan perilaku dan moral remaja kini tidak hanya terjadi di kota-kota besar, tetapi juga banyak terjadi di daerah, bahkan di desa. Hal ini tentunya sangat memprihatinkan bagi orangtua dan masyarakat umumnya dalam upaya membangun sebuah generasi yang kuat, tangguh dan berkualitas. Berbagai metode untuk menyelesaikan problematika yang terjadi ini memang belum menampakkan hasilnya, bahkan cenderung angka penyimpangan perilaku dan moral dari remaja semakin tinggi. Kondisi negatif inilah yang juga menghinggapi pikiran Makmun, seorang anak muda berusia 18 tahun dari kampungnya di Jawa Tengah yang ingin mencoba bergelut di Jakarta untuk mendapatkan pekerjaan.

Secara pendidikan, sekolah Makmun dimulai sejak TK hingga SMP, yang kemudian dilanjutkan dengan pendidikan di Pondok Pesantren (Ponpes). Di Ponpes, ia tergolong santri yang mandiri dan pintar, bahkan setengah dari seluruh juz Al-qur’an sudah ia hapal. Namun di tengah perjalanannya, karena terdesak faktor ekonomi dan lilitan hutang keluarga, terpaksa orangtuanya memintanya untuk berhenti dari ponpes dan merantau di Jakarta untuk mencari pekerjaan agar bisa membantu ekonomi keluarga.

Makmun adalah anak pertama dari 3 (tiga) bersaudara, kedua adiknya yaitu Imam (9 tahun) dan Siti (14 tahun) masih duduk di bangku SD dan SMP. Rosyid, ayah Makmun hanya bekerja sebagai buruh tani di kampungnya dengan penghasilan yang minim sekali, sedangkan ibunya, Jannah, menjalani tugasnya seperti biasa sebagai ibu rumah tangga, baik untuk mengurus rumah warisan almarhum orangtuanya maupun mengurus anak-anaknya. Pernah sekilas orangtua Makmun berpikir untuk mencoba berdagang kecil-kecilan di rumah untuk menambah penghasilan keluarga, namun karena faktor modal maka rencana itu terpaksa diurungkan.

Atas bekal uang dan informasi secukupnya, Makmun mencoba mencari lowongan pekerjaan di Jakarta. Tibalah dia pada sebuah Perusahaan Swasta yang sedang membuka lowongan pekerjaan, namun sayang sekali Makmun tidak bisa mendaftar karena terganjal dengan persyaratan tingkat pendidikan. Ternyata, dari sekian perusahaan yang ia datangi, tidak ada satu pun yang membuka lowongan pekerjaan untuk lulusan setingkat SMP. Makmun nyaris frustasi dan ingin pulang ke desanya, maklum uang yang disiapkan disakunya untuk hidup di Jakarta hampir kering. Payahnya lagi, keluarga Makmun tidak memiliki sanak saudara seorang pun di Jakarta dan sekitarnya, sehingga sulit sekali untuk meminta bantuan kalau terjadi apa-apa di kemudian hari.

Dengan melihat kondisi ini, Makmun mencoba bertahan hidup seadanya dengan mensiasati cara hidup. Untuk penginapan, ia terpaksa menggunakan kawasan luar masjid dengan alas koran seadanya. Sering juga dapat pelayanan yang baik di masjid tertentu untuk tidur di atas karpet luar masjid, tentunya ini juga seizin penjaga Masjid. Makmun tergolong pemuda yang senang ikut kegiatan-kegiatan di masjid, termasuk menjadi muadzin, hal ini yang mungkin sudah menjadi jiwa Makmun sejak menjadi santri meskipun kondisinya sedang dilanda masalah ekonomi. Akhirnya suatu ketika Makmun ditawarin oleh Azis (20 tahun), salah satu warga setempat di sekitar masjid untuk memintanya menginap sementara di rumahnya, yang kebetulan juga masih kos dan belum menikah. Azis adalah seorang mahasiswa tingkat 2 di salah satu perguruan tinggi swasta Jakarta. Sebenarnya Makmun merasa tidak enak dengan tawaran tersebut karena khawatir mengganggu aktifitas dan lainnya, namun karena didesak oleh Azis untuk menemani di kosnya yang sepi, akhirnya dia tidak sanggup juga untuk menolaknya.

Untuk makan sehari-hari, Makmun berusaha menggunakan sisa uang yang ada seefektif mungkin. Hampir tiap hari, untuk konsumsi makannya, dia membelanjakan uangnya dengan membeli mie 2 bungkus sehari. Terkadang ia juga ditawari untuk makan bersama oleh Azis, namun Makmun seringkali menolak. Makmun juga menyadari kalau konsumsi mie yang berkelanjutan kurang baik untuk kesehatan, namun Makmun juga mencoba memahami kondisinya tersebut. Secara usia, Makmun lebih muda 2 tahun daripada Azis, namun dari segi percakapan dan komunikasi, ternyata keduanya sangat intens dan tidak mengalami kesulitan. Hal inilah yang menjadi faktor keakraban mereka.

Dalam kondisi yang cukup diuntungkan ini, ternyata pelan-pelan batin Makmun mulai bergolak. Si Azis, yang selama ini dikenal baik olehnya ternyata adalah seorang anak kampus yang hidupnya sangat memprihatinkan. Suatu ketika di malam hari, Makmun mendapatkan Azis pulang dalam keadaan mabuk dengan botol bir yang masih dipegang di tangannya. Karena merasa sebagai tamu, Makmun sementara belum bisa berbuat banyak untuk mencoba merubah perilakunya. Kondisi Azis yang mabuk-mabukan tersebut ternyata berkelanjutan, parahnya lagi di suatu ketika saat sebagian besar warga sedang nyenyak tidur, teman Makmun tersebut pulang dalam keadaan mabuk sambil diantar oleh seorang perempuan sebaya, yang kemudian diduga perempuan itu adalah pacar Azis di kampusnya, yang bernama Lisa (20 tahun).

Pergolakan batin Makmun semakin menjadi setelah dia tahu keadaan yang sebenarnya pada diri Azis. Waktu itu, Makmun setelah pulang sholat Isya di masjid sekitar rumahnya, diajak Azis untuk jalan-jalan sekaligus makan malam di sebuah kafe. Namun setelah mereka sampai pada alamat kafe yang dituju, ternyata mereka sudah ditunggu oleh teman-teman Azis yang katanya hanya untuk bersenang-senang saja. Makmun yang tidak terbiasa dengan sikap bergaul teman-teman Azis mencoba mengerti dan mengenal lebih dekat mereka. Namun tidak disangka oleh Makmun, minuman yang dihidangkan oleh pelayan kafe berupa botol-botol bir dengan kadar alkohol yang tinggi, suatu kondisi yang sangat menakutkan bagi Makmun karena selain tidak dibenarkan oleh agamanya, minuman beralkohol tinggi itu juga berdampak negatif bagi kesehatan Azis dan teman-temannya.

Ketika waktunya acara minum bir dimulai, Makmun terus mencoba menghindar dari tawaran minum tersebut. Dia juga mencoba menghindari rasa tersinggung Azis di depan teman-temannya atas sikapnya tersebut. Namun sikap Makmun yang dianggap aneh oleh teman-teman Azis ini tidak diterima oleh Ryan, salah satu teman Azis. Ryan beranggapan bahwa si Makmun tidak menghargai mereka dan terkesan sok alim. Teman-teman Azis yang lain pun ikut terpengaruh dengan Ryan. Sambil minum minuman haram tersebut, mereka terus mendesak Makmun untuk ikut bergabung dan minum botol bir tersebut. Azis yang merasa bersalah karena membawa Makmun tidak pada tempatnya akhirnya meminta mereka untuk mengizinkan Makmun pulang ke rumah kosnya. Akhirnya dengan kondisi yang tidak tersadarkan diri karena sudah menghabiskan beberapa botol yang ada, mereka mengizinkan Makmun pulang ke rumah.

Dalam tiap langkah perjalanan pulang, Makmun mencoba berpikir untuk mencari solusi bagi kehidupan pribadi dan juga mereka, khususnya Azis yang sudah membantunya selama dia mencari pekerjaan di Jakarta. Dia juga hampir tidak pernah melewatkan waktu-waktu mustajab untuk bermohon kepada Sang Khalik agar mengabulkan doanya. Siang berganti malam, malam berganti siang. Makmun terus berusaha dan berdoa dalam menngiringi perjuangannya mendapatkan pekerjaan. Azis pun sibuk dengan kegiatan kuliahnya, namun sayang sekali, kebiasaannya meminum bir bersama teman-temannya tidak juga sirna.

Akhirnya dengan kesungguhan niat dan perjuangan yang keras, doa Makmun terkabul. Dia diterima di salah satu instansi pemerintah sebagai Cleaning Service (CS). Meski berada pada posisi bawah tersebut, tetapi Makmun tetap merasa bersyukur karena tidak mudah untuk lolos seleksi CPNS, apalagi di kantor pusat. Dia pun memahami tingkat pendidikannya yang SMP tersebut. Di tengah suasana kondusif ini, ternyata setelah lama diajak Makmun untuk memahami hukum dan dampak minuman alkohol bagi kesehatan, Azis pun sadar. Meski belum pulih secara penuh dari kecanduan alkohol, namun Makmun terus berusaha membantu menjaganya terhindar dari barang haram tersebut. Terlebih, godaan dari teman-teman kampusnya masih sering datang.

Seiring dengan proses pemulihan Azis tersebut, Makmun akhirnya mempunyai penghasilan sendiri dan sedikit demi sedikit bisa menabung. Dengan penuh ketulusan dan apresiasi ke Azis, Makmun akhirnya meminta izin untuk menyewa kos sendiri. Jiwa mandiri Makmun pun terasah kembali di rumah kosnya sendiri dan dengan bekal pekerjaan tersebut, Makmun mampu menyisihkan sebagian dari penghasilannya untuk dikirim ke orangtua. Setelah melewati proses panjang, akhirnya Makmun bisa membantu ekonomi keluarga di kampung, termasuk untuk pembiayaan sekolah adik-adiknya. Seiring dengan itu pula, Azis pun terbebas dari candu minuman keras dan membawanya pada mahasiswa yang cukup disegani karena kepintarannya di kampus.

********************end*******************

0 Comments:

Post a Comment

<< Home