.: My Letters 4 My Life :.

07 May 2008

Komunitas Intelijen Indonesia (KII), Perlu kah ?

Pagi ini, jiwa ini tergerak kembali untuk sedikit berpetualang ide. Kali ini yang menjadi objek petualangan tersebut adalah komunitas intelijen di Indonesia. Hal yang menjadi faktor ketertarikan saya untuk mengangkat tulisan ini dipicu oleh gambar yang data di kamputer saya, dengan judul UNITED STATES INTELLIGENCE COMMUNITY. Saya pertama menangkap tulisan tersebut adalah komunitas intelijennya Amerika atau komunitasnya orang2 intel USA, termasuk FBI, ternyata salah, sebab "intelligence" disana kurang lebih berarti kecerdasan, inteligensi, bukan maksud makna kata yang pas pertama kali saya tangkap, yaitu intelijen, yang bermakna penyelidikan atau investigasi. Nah, dari ke-"teledor"-an makna tersebut, saya mencoba sedikit ber-"improvisasi" dengan kata "intelijen" yang saya tangkap tersebut. Bagaimana dengan Komunitas Intelijen Indonesia (KII)?

Memang berbicara intelijen adalah sesuatu yang sensitif dan kontraproduktif. Namun pada dasarnya, hal terkecil apapun yang dibentuk dalam sebuah bingkai “Merah Putih”, selayaknya bisa dipahami sebagai bagian dari elemen bangsa dalam menjaga harkat martabat bangsa. Trauma terhadap kiprah intelijen memang tidak bisa dipungkiri. Rekam jejak intelijen di Indonesia dalam kurun puluhan tahun di bawah bayang2 penguasa Orde Baru yang represif, tidak berkeadilan dan tidak berkemanusiaan menyebabkan kepercayaan masyarakat Indonesia sangat rendah, bahkan sebagian lagi melihatnya malah membahayakan iklim demokrasi bangsa.

Perlu diketahui, bahwa Intelijen, sebagaimana yang diketahui mempunyai 3 (tiga) fungsi, yaitu penyelidikan, pengamanan dan penggalangan (LIDPAMGAL). Ketiga unsur tentu dilakukan secara paralel dan berkesinambungan. Dalam pandangan pribadi, objek atau sasaran dari kegiatan ini tentu saja segala sesuatu yang bisa membahayakan kelangsungan bangsa (baik langsung maupun tidak langsung), seperti tindak terorisme, tindak kejahatan korupsi dan lainnya.

Terus bagaimana dengan intelijen di Indonesia? Sepengetahuan saya, Intelijen di Indonesia pasca reformasi ini terus berupaya untuk “menjadi lebih baik” lagi. Tertangkapnya para teroris, koruptor dan pelaku tindak kejahatan lainnya di Indonesia merupakan contoh dari hasil kinerja intelijen Indonesia. Namun sudah maksimalkah kinerja intelijen di Indonesia? Saya tidak tahu persis, karena saya tidak masuk di dalamnya secara langsung. Namun pada umumnya kinerja lembaga2 di Indonesia kurang maksimal. Ya, saya hanya bisa mengamati, sebagaimana saya mengamati dunia politik secara umum dan jagad PKB pada khususnya.

Oh ya, sedikit untuk diketahui bersama, Intelijen di sini bukan otomatis menunjuk Badan Intelijen Negara (BIN). Mengapa? Karena fungsi intelijen di Indonesia dilakukan oleh berbagai lembaga yang berwenang berdasarkan aturan yang ada. Terkait UU Intelijen, setahu saya masih berbentuk RUU dan masih ada di program legislasi nasional DPR RI. Saya juga kurang tahu apa saja isi nya, namun mudah2an tetap dalam tujuan yang mulia untuk “Sang Merah Putih”.

Nah, mungkin di titik itulah saya melihat ketidakoptimalan kinerja intelijen di Indonesia, karena belum mempunyai titik koordinasi yang sama. Misal, sekedar ilustrasi saja dan ini bisa salah karena posisi saya sebagai pengamat, negara akan melakukan kegiatan intelijen terhadap kasus “x” yang seharusnya melibatkan lembaga2 terkait. Ternyata dilapangan, lembaga A melakukan operasi tanpa melibatkan lembaga B yang juga berwenang melakukan operasi yang sama. Pertanggungjawabannya juga berbeda2, karena A bertanggungjawab kepada pemimpin tertinggi A, B kepada pemimpin tertinggi B dan seterusnya. Jika dalam operasi “bersama” tersebut dilakukan oleh lembaga yang berbeda, tentu hasilnya bisa saja berbeda dan tidak ada kepercayaan bersama untuk menghasilkan keputusan tetap. Kecuali, sudah ada batasan2 tertentu pada kasus X hanya dilakukan oleh lembaga X saja.

Salahsatu solusinya [mungkin] adalah membangun komunitas bersama intelijen di Indonesia, yang solid dan profesional. Ini tentu saja mengurangi kesalahpahaman dan memperkuat komunitas. Hal ini wajar juga, karena dalam kelompok masyarakat di Indonesia, sesuai dengan posisi, peran atau fungsi yang ada, umumnya mereka dibentuk dalam sebuah komunitas. Baik dalam bentuk asosisasi, ikatan, paguyuban, komunitas, jaringan atau pun lainnya, seperti contoh Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Dengan terbentuknya komunitas, saya yakin nilai persaudaraan antar lembaga dan upaya yang dilakukan berbuah maksimal, serta menghindari dari paham “ego sektoral”. Kesemuanya tentu diharapkan bermuara pada satu tujuan yaitu membangun negeri untuk kesejahteraan dan keadilan rakyat.

Wassalam,

0 Comments:

Post a Comment

<< Home