.: My Letters 4 My Life :.

17 June 2008

Menimbang Dampak Politik Kenaikan Harga BBM

Pada hari Sabtu tanggal 24 Mei 2008 pukul 00.00 WIB yang lalu, pemerintah RI telah memutuskan suatu kebijakan baru tentang kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) sekitar 28,7%. Dalih yang digunakan adalah penyesuaian harga minyak mentah di pasar dunia yang melambung tinggi, sekaligus sebagai langkah penyelamatan APBN. Otomatis kebijakan ini langsung direspon secara serempak dan serentak oleh berbagai lapisan masyarakat. Jajaran di pemerintahan tentu saja lebih banyak yang bersikap pro, namun sebaliknya terjadi sikap kontra di arus bawah. Sikap kontra tersebut bisa dilihat pada aksi dari berbagai golongan yang menyerukan untuk menolak kenaikan harga BBM.

Aksi penolakan tersebut adalah sesuatu yang wajar dikarenakan tingkat kesejahteraan dan daya beli masyarakat Indonesia masih tergolong rendah. Dalih pemerintah bahwa harga BBM di Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan di luar negeri pun belum bisa diterima, karena tingkat penghasilan masyarakat kita masih jauh di bawah angka mereka. Sungguh ironis, bangsa yang dikenal dengan sebutan “gemah ripah loh jinawi” ini ternyata belum bisa membawa derajat kesejahteraan masyarakat yang semestinya, malah mungkin sebaliknya.

Dengan bahasa lain, tingkat penolakan tersebut relevan dengan tingkat kesejahteraan yang ada. Jika tingkat kesejahteraan masyarakat Indonesia cukup baik, tentu tingkat penolakan masyarakat di bawah tidak sedahsyat seperti yang terjadi. Sebagaimana yang kita ketahui bersama, berbagai elemen masyarakat Indonesia seperti para mahasiswa, supir angkutan umum dan lainnya turut keberatan dengan kebijakan pemerintah tersebut. Tidak hanya tenaga dan keringat, terkadang darah pun turut bersimbah. Memang, bagaimanapun dan apapun kondisinya, kondusifitas sosial harus dijaga dengan menghindarkan diri dari perbuatan anarkis karena anarkisme akan mereduksi iklim demokrasi dalam mencapai cita-cita bangsa menuju bangsa yang modern.

Menimbang Dampak Politik
Kebijakan menaikan harga BBM tentu saja berdampak pada segala jenis aspek kehidupan masyarakat Indonesia. Tidak hanya berdampak pada bidang ekonomi dan sosial, tetapi juga pada bidang politik. Hal ini beralasan, karena kebijakan yang diambil pemerintah tersebut menyangkut hajat hidup orang banyak. Terlebih, kebijakan ini dikeluarkan saat bangsa ini masih belum begitu kuat secara ekonomi dan secara politik bangsa ini sedang melakukan persiapan penyelenggaraan pesta demokrasi terbesar berupa pemilihan presiden dan wakil presiden pada tahun 2009 nanti.

Dalam tataran politik, tentu saja kebijakan ini sangat mengurangi tingkat kepercayaan dari sebagian masyarakat Indonesia. Pemerintah dicerca dan dimaki, itu lah bagian dari dampak negatif yang terjadi. Lebih jauh lagi, jika ketidakpercayaan masyarakat itu sudah berada pada titik nadir, maka pemerintah yang sedang berkuasa sekarang ini harus legowo menerima konsekuensi ketidakpercayaan itu. Bukan tidak mungkin, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) atau M. Jusuf Kalla (MJK) tidak bisa mengulang kembali untuk duduk di kursi presiden atau wakil presiden pada tahun 2009 nanti. Hal itu bisa terjadi jika kebijakan-kebijakan yang sedang dan akan ditetapkan pemerintahan mereka di kemudian hari dipandang tidak strategis dalam rangka perbaikan ekonomi bangsa, apalagi jika dinilai mendera kondisi sosial ekonomi masyarakat di kelas bawah.

Kondisi ketidakpercayaan masyarakat itu semakin terlihat jelas ketika sebagian fraksi di DPR RI pun turut menolak dan meminta konfirmasi presiden atas kebijakan tersebut dalam bentuk konsultasi. Bahkan, sampai saat ini pun gelombang unjuk rasa dari berbagai elemen masyarakat di bawah masih terjadi, tidak hanya di pusat Ibukota Jakarta, tetapi juga di seluruh Indonesia. Kiranya semua sangat memahami kondisi bangsa yang sangat labil ini karena perekonomian bangsa yang masih terpuruk, meski usia reformasi sudah berada pada angka 10 tahun.

Kabinet SBY-MJK mungkin masih dalam satu kata dan satu barisan terhadap kebijakan tersebut. Namun sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokratis, maka unsur kekuasaan yang terbagi menjadi tiga komponen antara eksekutif, legislatif dan yudikatif harus dijunjung tinggi secara bersama-sama. Seberapapun kuatnya pemerintahan di bidang eksekutif, jika tidak diimbangi dengan dukungan dari komponen lainnya, terutama unsur legislatif yang merupakan perwakilan dari rakyat, maka bukan tidak mungkin kegiatan pemerintahan akan goyah dan tingkat stabilitas politik di tingkat atas pun bisa menjadi tidak kondusif.

Harapan Arus Bawah

Dalam posisi ini, kita sebagai masyarakat kelas bawah tentu berharap seyogyanya pemerintah bisa mengkaji kembali secara lebih mendalam terhadap dampak dari kebijakan kenaikan harga BBM yang mungkin akan ditimbulkan, baik dari sisi ekonomi, sosial maupun politik, termasuk nilai efektifitas program Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada masyarakat kelas miskin sebagai bentuk kompensasi atas kenaikan harga BBM tersebut. Kita sangat berharap bantuan tersebut bisa terdistribusi dengan baik dan benar-benar bisa membantu ekonomi mereka. Secara jangka menengah dan panjang, tentu program BLT ini kurang mendidik untuk mendorong kemandirian bangsa, ibarat kita mau mengajarkan orang memancing ikan tetapi kita langsung beri ikannya, bukan kailnya.

Oleh karena itu, jika dipandang secara kuat dan ilmiah bahwa dampak kebijakan tersebut untuk saat ini dan ke depan lebih banyak membawa mudharat (keburukan) daripada maslahat (manfaat) bagi kelangsungan ekonomi masyarakat secara umum, maka kiranya pemerintah tidak perlu ragu-ragu dan bertindak tegas untuk menghentikan atau menahan dulu kebijakan kenaikan tersebut. Tentu pilihan ini adalah sesuatu yang sangat berat, ibarat pepatah “nasi sudah menjadi bubur”, program yang telah ditetapkan pemerintah, biasanya tidak bisa dihentikan dan terus dilaksanakan, meski pahit sekalipun.

Pada sisi yang lain, apapun keputusan yang diambil pemerintah tersebut seyogyanya harus diimbangi dengan usaha yang sungguh-sungguh dari berbagai elemen masyarakat, khususnya dari pemerintah untuk mencari solusi yang lebih baik dalam upaya perbaikan ekonomi bangsa. Program optimalisasi sumber daya alam secara merata dan berkeadilan tentu bisa menjadi bagian dari solusi perbaikan ekonomi tersebut.

Disamping itu, kiranya pemerintah juga mau aktif mendengarkan dan menyimak pendapat dari pihak lain, meski berbeda wadah politik dan posisi. Misalnya, beberapa ekonom kita berargumen bahwasanya kebijakan kenaikan harga BBM ini seharusnya tidak perlu terjadi karena selain akan semakin membebani masyarakat, kita juga sebenarnya masih mempunyai saldo yang masih bisa mem-backup kebutuhan bangsa, meski menggunakan kalkukasi terbaru sesuai harga minyak mentah di pasar dunia. Namun realitasnya pemerintah terkesan menutup diri dari pendapat pihak lain. Saya yakin, jika ke depan model “dengar pendapat” dengan para pakar yang berkompeten di bidangnya dilakukan dalam suasana yang harmonis dan ilmiah, maka solusi yang lebih populis dan positif dalam rangka perbaikan ekonomi tentu akan muncul.

Bisa jadi, kebijakan pemerintah pada kenaikan harga BBM kali ini merupakan ujian tersendiri bagi kita semua dalam memperingati 100 tahun kebangkitan nasional. Apakah kebijakan ini sanggup membawa bangsa ini bangkit dari keterpurukan atau sebaliknya. Yang jelas, ujian kali ini terasa sangat berat. Semua komponen bangsa Indonesia, khususnya pemerintah sebagai waliyul amri dituntut terus berjuang untuk menjalankan langkah nyata demi kemaslahatan bersama bagi masyarakat dan bangsa Indonesia. Dalam perjuangan ini, kita harus meyakini salah satu pesan Tuhan dalam Q.S. Alam Nasyrah (6) bahwa “sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”.

0 Comments:

Post a Comment

<< Home