.: My Letters 4 My Life :.

12 June 2011

Papua, Problematika dan Percepatan Pembangunan untuk Bangsa

Oleh : Agus Maulana*

"Oleh karena masih ada salah satu wilayah daripada Republik Indonesia diduduki oleh pihak asing, oleh karena salahsatu wilayah daripada Republik Indonesia masih belum merdeka, maka kita anggap satu kewajiban yang teramat untuk memasukkan daerah yang masih diduduki oleh pihak asing itu ke dalam kekuasaan Republik Indonesia”
(Pidato Bung Karno pada saat pelantikan Oemardhani sebagai Kepala Staf Angkatan Udara tanggal 20 Januari 1962 di Istana Negara, Jakarta)


Bangsa Indonesia meyakini bahwa menjaga kedaulatan bangsa adalah inti dari gerakan pembebasan tanah Papua (dulu disebut Western New Guinea). Hal ini sebagaimana bunyi penggalan pidato Bung Karno di atas. Pidato tersebut juga merupakan penegasan kembali argumentasi Bung Karno untuk mengajak rakyat Indonesia melakukan operasi pembebasan Papua dari tangan Belanda. Ajakan tersebut disampaikan pada tanggal 19 Desember 1961 melalui amanat Trikora-nya di Alun-alun Utara Kota Yogyakarta.

Bung Karno berpendirian bahwasanya kedaulatan Papua berada di tangan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sejak proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, yang meliputi wilayah Hindia Timur Belanda. Meski pihak pemerintah Belanda membantah hal ini, namun pihak Indonesia terus berjuang untuk membebaskan Papua tersebut dari Belanda, baik melalui perang diplomasi, ekonomi maupun militer. Dibalik berbagai rentetan sejarah tersebut, perjuangan bangsa Indonesia akhirnya membuahkan hasil dengan (kembali) masuknya Papua ke kedaulatan NKRI.

Hasil perjuangan itu ditandai dengan diserahkannya urusan administrasi secara penuh dari Belanda kepada Indonesia melalui United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) pada tanggal 1 Mei 1963. Kemudian pada tahun 1969, dilakukan suatu peristiwa bersejarah guna menentukan masa depan Papua secara demokratis, yaitu Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) di bawah pengawasan PBB. Hasil proses itu memutuskan bahwa Papua secara bulat bergabung ke dalam wilayah NKRI.

Setelah peristiwa integrasi tersebut, Papua resmi terdaftar sebagai provinsi ke-26 bagian dari NKRI dengan nama Irian Barat. Pada tahun 1974, nama Irian Barat berubah menjadi Irian Jaya sampai dengan tahun 2002. Terakhir, namanya menjadi Papua lagi dan pada perkembangannya, kini Papua terbagi menjadi dua provinsi, yaitu Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.


Mutiara Bangsa dan Problematika
Selain kedaulatan sebagai faktor utama pembebasan, para pemimpin negeri ini menyadari bahwa di dalam ”perut bumi” Papua, terdapat suatu mutiara bangsa. Mutiara bangsa itu berupa kekayaan alam Papua, yang menjadi modal pembangunan bangsa dan tanah Papua sendiri. Oleh karena itu, Papua harus dijaga, dilindungi dan diselamatkan demi kepentingan bangsa dari pihak manapun.

Kekayaan Papua meliputi keberagaman suku (etnis) dan adat istiadat (budaya), aneka flora fauna dan sumber daya alamnya. Tercatat, lebih dari 250 suku asli dengan ragam bahasanya yang mewarnai kehidupan masyarakat Papua. Suku-suku di Papua antara lain Suku Aitinyo, Suku Aefak, Suku Asmat, Suku Agast, Suku Dani, Suku Ayamaru, Suku Mandacan, Suku Biak, Suku Serui, Suku Mee, Suku Amungme, Suku Kamoro. Adapun kekayaan alam Papua meliputi pertambangan, perikanan, kehutanan dan lainnya.

Dalam sektor pertambangan, bahan alamnya antara lain tembaga, emas, biji besi, batu bara, minyak bumi dan gas alam cair. Bahkan, sejak tahun 1967 terdapat PT. Freeport Indonesia, sebuah perusahaan tambang emas terbesar dunia yang bertempat di Kabupaten Mimika. Menurut sumber media detikfinance (23/5), perusahaan tambang ini telah menyetorkan kewajibannya kepada pemerintah Indonesia sebesar US$ 678 juta atau sekitar Rp 5,8 triliun sepanjang triwulan I-2011. Setoran ini terdiri dari pajak, royalti, dan dividen.

Meskipun Papua sangat kaya dengan sumber daya alamnya, tetapi realitas pembangunan mengatakan bahwa Papua belum berkembang sebagaimana harapan masyarakat pada umumnya. Padahal, dari segi pemerintahan, Papua telah mengalami 14 periode kepemimpinan gubernur sejak Zainal Abidin Syah tahun 1956 hingga sekarang tahun 2011, yang dipimpin oleh Barnabas Suebu. Bahkan sejak tahun 2001 Papua diberlakukan Otonomi Khusus (Otsus) bagi Provinsi Papua berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2001, berikut implikasinya berupa dana Otsus. Dari segi letak geografis pun, Papua merupakan pintu gerbang perdagangan dengan negara-negara Asia Pasifik.

Kurang berhasilnya pembangunan di Papua bisa dilihat dari data statistik yang ada. Dari segi tingkat kemiskinan dan pengangguran, jumlah warga miskin di tanah Papua semakin meningkat dari tahun ke tahun. Tercatat pada tahun 2010 (Maret), jumlah penduduk miskin Papua sebesar 761.620 jiwa (36,80 persen). Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya 2009 sebesar 760.350 jiwa. Sedangkan jumlah pengangguran di Papua pada tahun 2010 (Agustus) sekitar 53,6 ribu jiwa (3,55 persen).

Dari segi Indeks Pembangunan Manusia (IPM), nilai IPM Provinsi Papua masih menempati peringkat ke-33 atau terendah se-tanah air sebesar 64,53 pada tahun 2009. Meski demikian, angka ini mengalami kenaikan dibandingkan tahun 2008 sebesar 64,00. Kenaikan angka tersebut dipengaruhi oleh seluruh komponen pembentukannya, seperti komponen angka harapan hidup naik sebesar 0,25 tahun, angka melek huruf naik 0,17 persen, angka rata-rata lama sekolah naik sebesar 0,05 tahun, dan daya beli masyarakat naik sebesar Rp 4.229.

Dari segi pertumbuhan ekonomi terjadi perlambatan. Pada tahun 2010 terjadi pertumbuhan sebesar -2,65 persen, dibandingkan pada tahun 2009 mampu tumbuh sebesar 22,74 persen. Sedangkan pertumbuhan ekonomi tanpa tambang pada tahun 2010 sebesar 11,98 persen melambat dari tahun 2009 yang tumbuh 13,32 persen. Sebagai catatan, daya beli penduduk Papua pada tahun 2009 membaik dibandingkan tahun sebelumnya.

Dari segi pendidikan dan kesehatan masih harus ditingkatkan lagi. Pada tahun 2009, lebih dari 75,58 persen penduduk Papua sudah dapat membaca dan menulis, dan rata-rata lama sekolahnya sampai dengan kelas 1 setingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau 6,57 tahun. Dari segi kesehatan, jumlah perbandingan kasus HIV/AIDS dengan jumlah penduduk (revalensi), Papua masih menempati posisi tertinggi di tanah air dibandingkan dengan provinsi lainnya. Kondisi di atas tentu harus menjadi perhatian serius bagi gubernur, para bupati dan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) di Papua untuk memperhatikan rakyat, termasuk mereka yang ada di kampung-kampung melalui program pembangunan yang sudah ada, seperti Rencana Strategi Pembangunan Kampung (Respek).

Selain data di atas, hal yang menjadi sangat serius bagi pertumbuhan Papua adalah masih sering terjadinya tindak kekerasan yang bersifat SARA dan gerakan Pro-Merdeka (Pro-M) oleh sebagian masyarakat Papua yang mengarah pada disintegrasi NKRI. Bahkan, realitas di lapangan menunjukkan gerakan Pro-M tersebut tidak saja dilakukan dengan pendekatan politik, tetapi juga militer, yang umumnya dilakukan oleh anggota Tentara Pembebasan Nasional/Organisasi Papua Merdeka (TPN/OPM). Kasus kekerasan terbaru, terjadinya penembakan terhadap mobil PT. Freeport Indonesia pada tanggal 6 April 2011 dan juga pembakaran pada kendaraan perusahaan yang sama di sekitar ruas jalan Tanggul Timur, Timika pada tanggal 7 April 2011, yang menewaskan dua orang karyawan perusahaan tersebut.

International Crisis Group (ICG), sebuah organisasi nirlaba, non-pemerintah, dan mandiri yang bekerja melalui analisis lapangan dan advokasi bagi pencegahan dan resolusi konflik, melalui laporannya Asia Report No188 – 11 Maret 2010 mencatat bahwa sepanjang tahun 2009 sampai dengan 2010, terjadi peningkatan kekerasan politik. Menurut ICG, salahsatu penyebab tindak kekerasan politik tersebut adalah meningkatnya kegiatan para aktivis militan dari pegunungan tengah, yang mayoritas adalah anggota Komite Nasional Papua Barat (KNPB), dimana KNPB merasa bahwa perjuangan mencapai referendum kemerdekaan melalui jalan damai sudah tidak efektif.

Perkuatan dan Percepatan Pembangunan Papua
Peliknya berbagai permasalahan yang ada di Papua, tidak hanya menjadi tantangan bagi masyarakat Papua semata, tetapi juga tantangan serius bagi pemerintah pusat dalam mewujudkan kesejahteraan dan keamanan masyarakat di tanah Papua dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Oleh karena itu, diperlukan upaya percepatan pembangunan di tanah Papua melalui langkah-langkah perkuatan dan percepatan pembangunan di seluruh bidang kehidupan. Hal ini sebagaimana yang telah ditempuh pemerintah melalui Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan Papua dan rencana pembentukan Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B).

Langkah-langkah yang harus dilakukan dalam rangka percepatan pembangunan tersebut antara lain, pertama, masyarakat Papua harus membuka diri seluas-luasnya adanya ruang heterogenitas dalam berbagai sisi di tanah Papua, baik dari segi suku, agama, budaya maupun lainnya. Konsekuensi dari langkah ini adalah pihak Pemerintah Papua (baik tingkat I maupun II) dan dinas/lembaga terkait harus melibatkan seluruh komponen masyarakat di Papua (baik asli lokal Papua maupun non-Papua) dalam pembangunan di tanah Papua. Meski demikian, dalam ruang-ruang tertentu perlu ada kebijakan khusus terkait keberadaan orang asli Papua demi menjaga martabat masyarakat Papua, baik dalam bentuk Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) maupun Peraturan Daerah Khusus (Perdasus), dan tetap memperhatikan sinkronisasi peraturan pada perundang-undangan yang lain.

Kedua, masyarakat Papua perlu menyadari dan memahami sepenuhnya bahwa kebijakan-kebijakan pemerintah pusat dalam rangka percepatan pembangunan Papua merupakan niat nyata dan serius oleh pemerintah pusat dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat Papua di segala bidang kehidupan. Kebijakan-kebijakan tersebut seperti yang telah dituangkan dalam bentuk UU Otsus Papua dan Inpres Nomor 5 Tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Konsekuensi dari langkah ini adalah segenap komponen masyarakat Papua mendukung dan turut berperan serta mengimplementasikan kebijakan tersebut dengan baik untuk mencapai sasaran yang diharapkan, termasuk mendukung rencana kebijakan baru pemerintah pusat dalam membentuk Unit Percepatan Pembangunan di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat (UP4B).

Dalam Inpres Nomor 5 Tahun 2007 disebutkan bahwa langkah percepatan pembangunan di Provinsi Papua dan Papua Barat memperhatikan pendekatan kebijakan baru (the new deal policy for Papua), dengan prioritas pemantapan ketahanan pangan dan pengurangan kemiskinan; peningkatan kualitas penyelenggaraan pendidikan; peningkatan kualitas pelayanan kesehatan; peningkatan infrastruktur dasar guna meningkatkan aksesibilitas di wilayah terpencil, pedalaman dan perbatasan negara; dan perlakuan khusus (affirmative action) bagi pengembangan kualitas sumberdaya manusia putra-putri asli Papua.

Ketiga, masyarakat Papua harus senantiasa mengedepankan nilai-nilai persatuan dan kesatuan bangsa di tanah Papua dalam bingkai NKRI. Konsekuensi dari langkah ini adalah seluruh komponen masyarakat menghindari diri dari segala kegiatan yang mengarah pada upaya disintegrasi bangsa, anarkisme, gerakan-gerakan politik dan kekerasan yang mengarah “Pro-Merdeka” serta tidak terjebak oleh provokasi-provokasi negatif terhadap pemerintah, baik yang dilakukan oleh perseorangan maupun kelompok yang tidak bertanggung jawab.

Keempat, Pemerintah dan masyarakat Papua mendorong terciptanya penegakan hukum positif secara adil dan tegas dalam penyelesaian masalah di tanah Papua dengan tetap memperhatikan adat setempat. Hal ini cukup beralasan karena sebagian masyarakat tertentu di Papua memandang sebelah mata penyelesaian dengan jalur hukum positif. Menurut pandangan mereka, hukum adat terkadang lebih memungkinkan adanya rasa keadilan atas hukuman atau denda bagi pelaku. Kondisi ini pada umumnya dilatarbelakangi oleh adanya unsur ketidakpercayaan masyarakat terhadap praktek pengadilan yang ada.

Kelima, Pemerintah Papua mampu mengemban amanah yang dipercayakan oleh pemerintah pusat dalam rangka mewujudkan kesejahteraan bagi masyarakatnya. Perwujudan langkah ini antara lain dengan mengoptimalkan dana Otsus sebesar-besarnya dari pemerintah pusat untuk pembangunan masyarakat Papua secara adil dan merata, mampu menjadi sarana pendengar dan penyalur aspirasi yang baik bagi masyarakat Papua serta tidak menyelewengkan tugas pokok dan fungsi serta jabatannya.

Rendahnya tingkat pembangunan di Papua disinyalir diakibatkan juga oleh adanya penyalahgunaan wewenang serta tugas para elitnya, baik melalui tindakan korupsi, maupun kebijakan-kebijakan yang tidak menyentuh masyarakat lapis bawah. Di sisi lain, pemerintah pusat juga harus terus melakukan koordinasi dan pemantauan terhadap kondisi pembangunan di tanah Papua, baik dari segi kebijakan, pengalokasian anggaran, maupun pengembangan sumber daya manusia-nya.

Keenam, segenap elit dan tokoh masyarakat Papua, baik Gubernur, DPRP maupun Majelis Rakyat Papua (MRP) bersama-sama secara aktif membangun Papua dengan penuh jalinan kebersamaan, keterpaduan, kesepahaman dan kepercayaan. Selama ini, acap kali terjadi benturan dan ketidakpercayaan antar elit di Papua sehingga sedikit banyak menghambat rencana pembangunan di tanah Papua. Dalam kebijakan-kebijakan strategis di Papua, selain keterlibatan unsur eksekutif dan legislatif, juga melibatkan MRP yang mempunyai kewenangan strategis sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 54 Tahun 2004.

Ketujuh, Pemerintah Papua perlu mengoptimalkan dan memberdayakan segala potensi lokal Papua secara serius untuk kemajuan tanah Papua. Langkah ini bisa diwujudkan dalam bentuk program peningkatan investasi daerah, pengembangan usaha-usaha lokal yang produktif, peningkatan prestasi olahraga, pengembangan objek wisata, dan peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui program pendidikan dan pelatihan. Dengan memperhatikan luasnya geografis Papua disertai topografis wilayah yang terdiri dari pegunungan dan pesisir pantai, Papua mempunyai tantangan tersendiri dalam mewujudkan program-program pembangunan tersebut.

Kedelapan, seluruh komponen masyarakat Papua, khususnya elit Papua diharapkan dapat memahami, mengerti dan mematuhi segala produk peraturan perundangan-undangan yang berkaitan dengan Provinsi Papua secara baik dan utuh, baik peraturan yang bersifat umum maupun khusus. Beberapa peraturan perundangan-undangan tersebut antara lain UU Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (telah diubah dengan UU Nomor 35 tahun 2008), UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, PP Nomor 54 Tahun 2004 tentang MRP, dan Inpres No. 5 Tahun 2007 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat.

Terakhir kesembilan, masyarakat Papua diharapkan senantiasa mengedepankan jalur dialog atau proses komunikasi dua arah dengan pihak pemerintah pusat/daerah. Proses dialog ini tetap diarahkan dalam rangka mencari penyelesaian secara baik dan menyeluruh untuk menjaga situasi tetap kondusif dalam wadah NKRI.

Penulis meyakini bahwasanya ketika langkah-langkah perkuatan dan percepatan pembangunan tersebut dilakukan secara konsisten, aktif dan berkelanjutan, maka bukan tidak mungkin, dalam beberapa dekade ke depan, Papua termasuk salahsatu provinsi dengan tingkat peradaban yang sejajar dengan provinsi lainnya di Indonesia. Oleh karena itu, diharapkan seluruh elemen masyarakat Papua bersatu padu dalam gerak dan fikiran untuk membangun Papua mewujudkan kesejahteraan masyarakat Papua. Meski langkah-langkah tersebut secara realitas berat untuk dilaksanakan, tapi segala sesuatunya harus dicoba, bukan?


*Penulis adalah pengamat sosial politik, alumni Akademi Sandi Negara. Sekarang berdinas di salahsatu instansi pemerintah, Jakarta.

5 Comments:

  • Good article Pak, saluuuttt

    By Anonymous papua, at 3:15 PM  

  • terimakasih mas ..

    semoga papua semakin maju di dalam ibu pertiwi NKRI

    By Blogger Taruna, at 1:19 PM  

  • so bagaimana Papua saat ini ??? ... sepertinya tetap mencekam, bagaimana pendapat bung maul yg sdh merasakan kerasnya kehidupan dsana ... mungkin sempat berbincang2 dgn penduduk asli sana

    By Anonymous temen satu kontrakan "J", at 10:46 PM  

  • teruntuk yang terhormat bung J

    secara umum, Papua kondusif. tp tentu saja masih dalam pengawasan dan pengendalian aparat hukum secara komprehensif, karena wilayah Papua memang dalam pemantauan khusus karena merupakan wilayah yang masih dikategorikan pasca konflik.

    dengan adanya UU 21 tahun 2001 dan Perpres 65 dan 66 tahun 2011, diharapkan Papua bisa lebih baik lagi secara ekonomi, pendidikan dan kesejahteraan.

    By Blogger Taruna, at 1:30 PM  

  • Papua adalah harga mati merupakan bagian dari NKRI untuk itu harus terus dipikirkan oleh segenap rakyat Indonesia bagaimana agar Papua dapat sejajar dengan propinsi lainnya di Indonesia.

    By Anonymous rental mobil bandung, at 1:43 PM  

Post a Comment

<< Home