Oleh : Agus Maulana*
Masyarakat Indonesia baru saja telah merayakan Bulan
Pendidikan dan Kebudayaan pada bulan Mei kemarin. Suatu waktu yang secara rutin
bangsa Indonesia peringati sebagai hari lahirnya pendidikan di tanah air,
tepatnya tanggal 2 Mei 2018. Namun demikian, bulan tersebut
seyogyanya juga dapat menjadi bulan instrospeksi bagi Pemerintah, khususnya Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) mengingat kualitas pembangunan pendidikan
Indonesia masih jauh dari harapan. Menurut data The EFA Development Index
(EDI) - The United Nations Organization for Education, Science and Culture
(UNESCO), nilai Indeks Pembangunan Pendidikan Indonesia tahun 2015 sebesar
0.947. Nilai ini menempatkan Indonesia pada peringkat 57 dari 115 negara dan
masuk dalam kelompok pembangunan pendidikan pada tingkat menengah (medium).
Hasil penelitian lain dari Jaringan Pemantau Pendidikan
Indonesia (JPPI) tahun 2016 terkait Right to Education Index (RTEI)
untuk mengukur pemenuhan hak pendidikan pada suatu negara, juga menunjukkan bahwa
kualitas pendidikan di Indonesia masih rendah. Dari 14 negara yang dipilih secara
random untuk dinilai, Indonesia menempati urutan ke-7 di bawah negara Ethiopia
dan Filipina. Menurut JPPI, beberapa persoalan penting yang perlu menjadi
perhatian adalah faktor ketersediaan kualitas guru (availabilty),
sekolah yang belum ramah anak (acceptability),
dan masih rendahnya akses pendidikan (adaptability).
Kondisi di atas menunjukkan bahwa pembangunan pendidikan di tanah air belum menunjukkan
perkembangan signifikan.
Pentingnya faktor pendidikan (knowledge) juga menjadi salahsatu
komponen pengukuran Indeks Pembangunan Manusia (IPM) suatu negara, selain
komponen kesehatan (a long and healthy life) dan standar kehidupan yang
layak (a decent standard of living). Berdasarkan laporan dari United
Nations Development Programme (UNDP), nilai IPM Indonesia tahun 2015
sebesar 0.689. Pada tingkat ASEAN, nilai IPM Indonesia tersebut berada di bawah
Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia dan Thailand. Meski tren nilai IPM
Indonesia setiap tahun ada kenaikan, tetapi sampai dengan tahun 2015, tingkat
pembangunan manusia Indonesia masih pada kelompok menengah. Hal ini menuntut
bangsa Indonesia untuk terus meningkatkan kualitas pembangunan manusia melalui
penguatan pendidikan dan kebudayaan yang merata di seluruh Indonesia.
Gambar
1. Tren Nilai IPM Indonesia (Tahun 2011 s.d. 2015)
Optimalisasi Pendayagunaan
TIK untuk Penguatan Pendidikan
Kondisi pendidikan yang masih memprihatinkan di atas tentunya
menuntut dilakukan upaya peningkatan kualitas pendidikan di tanah air melalui
berbagai sasaran program, salahsatunya
pendayagunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) pada bidang
pendidikan. Hal ini sejalan dengan Rencana Strategis Kemdikbud tahun 2015-2019,
bahwa salahsatu sasaran program dukungan manajemen dan pelaksanaan tugas teknis
lainnya dalam mewujudkan Visi Misi Kemendikbud 2015-2019 adalah meningkatnya
pendayagunaan teknologi dan informasi, serta komunikasi untuk pendidikan.
Dalam sasaran program tersebut, ada 4 (empat) indikator kinerja
program yang menjadi ukuran kegiatan, yaitu 1) persentase pengembangan,
pembinaan dan pendayagunaan TIK untuk pendidikan, 2) jumlah bahan belajar/media
pembelajaran berbasis TIK, 3) jumlah satuan pendidikan yang memanfaatkan
e-pembelajaran dan 4) presentasi e-layanan kementerian yang sesuai dengan tata
kelola TIK. Melalui pendayagunaan TIK tersebut, diharapkan dapat menguatkan
pendidikan dan memajukan kebudayaan yang merata di seluruh tanah air secara efektif
dan efisien. Namun demikian, pemanfaatan TIK tersebut harus beriringan dengan penanaman
nilai-nilai karakter bangsa kepada anak didik. Ini dimaksudkan untuk membekali ilmu,
mental dan perilaku positif bagi siswa dalam menghadapi dinamika tantangan ke
depan.
Dalam pemanfaatan TIK di bidang pendidikan, Prof. Shyamal
Majumdar, Ph.D. dari UNESCO melalui tulisannya “Modelling ICT Development in
Education”, telah mengembangkan konsep integrasi TIK dan pengajaran. Dalam konsep
tersebut, terdapat 2 (dua) dimensi yaitu Teknologi (TIK) dan Pedagogi (seni/ilmu
dalam mengajar). Dalam dua dimensi tersebut, dikembangkan proses integrasi TIK
melalui 4 (empat) tahap yaitu Emerging, Applying, Infusing dan
Transforming. Tahap emerging merupakan tahap permulaan pemanfaatan
TIK oleh sekolah, seperti penyediaan komputer dan infrastruktur TIK. Tahap applying
merupakan tahap penerapan TIK dalam manajemen sekolah dan pembelajaran. Tahap infusing
merupakan tahap pengintegrasian TIK ke dalam kurikulum sekolah dan
implementasi pada fasilitas sekolah seperti laboratorium. Tahap transforming
merupakan tahap adanya proses
pembaharuan organisasi secara kreatif dan inovasi. Pada tahap terakhir
ini, TIK sudah menjadi bagian integral dengan kegiatan pribadi dan kegiatan
sekolah sehari-hari.

Gambar 2. Tahap Pengembangan TIK dalam Pengajaran
Pembangunan TIK di Indonesia saat ini masih dalam tingkat rendah.
Berdasarkan hasil riset International Telecommunication Union (ITU)
dalam Measuring the Information Society Report 2017, nilai Indeks
Pembangunan TIK - ICT Development Index (IDI) Indonesia berada pada
peringkat 111 dari 176 negara dengan nilai 4,33. Pada tingkat ASEAN, IDI Indonesia
menempati peringkat ke-6 dibawah Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia,
Thailand dan Filipina. Tiga komponen yang disorot dalam penilaian indeks
pembangunan TIK tersebut adalah infrastruktur TIK, pemanfaatan TIK dan keahlian
TIK. Rendahnya pembangunan TIK tersebut juga terjadi pada pemanfaatan TIK di
bidang pendidikan. Hal ini diakui oleh Mendikbud RI, Bapak Muhadjir Effendy
yang disampaikan pada malam penganugerahan “Kita Harus Belajar (KiHajar) 2016”.
Menurutnya, Indonesia masih jauh tertinggal dalam pemanfaatan TIK di dunia
pendidikan jika dibandingkan dengan negara lain, termasuk ASEAN.
Tabel 1. Nilai Indeks Pengembangan TIK di Kawasan ASEAN (2017 dan 2016)
Dalam
rangka peningkatan pendayagunaan TIK di bidang pendidikan dan kebudayaan,
Kemdikbud tengah gencar menjalankan berbagai program antara lain pengembangan
infrastruktur dan layanan TIK, pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) TIK,
pengembangan dan digitalisasi konten pendidikan dan kebudayaan, serta
pendayagunaan TIK di Daerah 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal). Melalui
program tersebut, diharapkan bisa terbangun koneksi antar warga untuk
menguatkan kualitas pendidikan, memberikan peluang ekonomi, serta penguatan
nasionalisme di kawasan perbatasan dan pedalaman negeri. Langkah Kemdikbud
tersebut patut diapresiasi positif seluruh masyarakat Indonesia dan diharapkan
bisa dilaksanakan secara terpadu dan berkesinambungan.
Dampak TIK dan Pentingnya Keamanan
Informasi dalam Pendidikan
Pada dasarnya penggunaan TIK dimaksudkan untuk membantu
tugas-tugas manusia, seperti proses belajar mengajar, menambah ilmu
pengetahuan, memperluas jaringan sosial dan lainnya. Namun tidak dapat
dipungkiri, baik disadari atau tidak, penggunaan TIK juga memunculkan berbagai risiko
terjadinya ancaman atau serangan keamanan informasi, termasuk pada ranah siber
seperti adanya malware, serangan phising, Denial of Service (DoS), SQL
Injection, Man in The Middle, Cross-Site Scripting (XSS) atau serangan
lainnya yang akan mengganggu jaringan komputer atau merusak sistem informasi.
Objek serangan bisa berupa perangkat mobile seperti gadget,
laptop, handphone dan perangkat stasioner seperti komputer desktop,
termasuk jaringan atau infrastrukturnya. Hal ini tentunya menjadi masalah serius
dalam hal pendayagunaan TIK, termasuk di bidang pendidikan dan kebudayaan.
Masalah keamanan informasi dan siber di atas pada umumnya
disebabkan oleh rendahnya kesadaran keamanan informasi, lemahnya sistem
proteksi pada perangkat TIK (hardware/software), kurangnya kompetensi
(kemampuan) dalam upaya mitigasi dan penanggulangan, tidak adanya regulasi (kebijakan)
pengelolaan TIK, atau keterbatasan jumlah SDM TIK. Berdasarkan hasil survei
APJII pada tahun 2017, persepsi pengguna internet terhadap keamanan internet,
dalam hal kesadaran data dapat diambil, yang menjawab sadar sebesar 65,98%,
sedangkan dalam hal kesadaran adanya penipuan di internet, yang menjawab sadar 83,98%.
Terkait menjaga kerahasiaan data, yang menjawab penting sebanyak 61,38%, tidak
penting 7,68% dan biasa 30,94%. Sedangkan pada hal pemasangan anti-virus, yang
menjawab penting 58,52%, tidak penting 10,53% dan biasa 30,94%. Data ini
menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat Indonesia terhadap keamanan informasi
belum merata dan harus terus ditingkatkan.

Gambar 3. Kondisi Keamanan Internet dan Serangan Siber di
Indonesia 2017
Pada lingkup lembaga pendidikan, ancaman dan serangan keamanan
informasi, termasuk dalam ranah siber berpotensi mengganggu operasionalisasi layanan
pendidikan. Sebagai contoh, virus komputer yang menyerang jaringan komputer
sekolah berisiko mengganggu akses pengguna ke komputer dan berpotensi merusak
data. Lebih luas lagi, fasilitas yang berbasis komputer pada jaringan yang sama
pun berisiko terjadinya gangguan seperti laboratorium, perpustakaan, server
atau data center sekolah. Dalam skala individu, dampak serangan siber dapat
mempengaruhi pola pikir menjadi negatif, kinerja menurun, cenderung menyendiri,
kurang sosialisasi dan lainnya. Pola pikir tersebut dapat mempengaruhi perilaku
yang salah pula, seperti terjadinya tindak kekerasan, pelecehan, penyebaran informasi
sesat (hoax), pornografi, perjudian, penculikan dan lainnya.
Menurut data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI),
jumlah kasus pornografi dan kejahatan siber yang melibatkan anak terus
meningkat sejak 2012. Pada 2012, jumlah pengaduan kasus tersebut tercatat
sebanyak 175 kasus, kemudian terus meningkat menjadi 247 kasus (2013), 322
kasus (2014), 463 kasus (2015), kemudian naik lagi dengan 587 kasus (2016). Kasus
tersebut dapat berupa korban pornografi online, prostitusi anak online,
objek CD porno, korban kekerasan seksual online dan lainnya. Peningkatan
laporan tersebut, menurut KPAI beriringan dengan peningkatan jumlah pengguna
internet pada anak Indonesia disertai minimnya pemahaman orang tua terhadap
keamanan internet pada anak. Kondisi ini tentunya menjadi masalah serius bagi
dunia pendidikan karena anak merupakan sumber daya utama penggerak negeri ini
di masa depan. Dengan demikian, perlu dilakukan upaya bersama dalam menjaga
anak-anak negeri ini terhindar dari dampak-dampak negatif tersebut melalui
budaya TIK yang aman dan ramah di lingkungan pendidikan, khususnya anak.
Sebagai informasi tambahan, dalam hal keamanan siber, Indonesia
saat ini berada pada tingkat maturing (menuju pada kesiapan). Hal ini
sesuai laporan Global Cybersecurity Index (GCI) 2017-International
Telecommunication Union (ITU), bahwa nilai indeks keamanan siber Indonesia
sebesar 0,424 dan berada pada peringkat 70 dari 165 negara. Dalam skala ASEAN,
nilai GCI Indonesia tersebut berada pada peringkat ke-6 di bawah Singapura
(0,925), Malaysia (0,893), Thailand (0,684), Filipina (0,594) dan Brunei
Darussalam (0,524). Terdapat 5 (lima) pilar yang membangun nilai GCI, yaitu
kebijakan (legal), teknis (technical), organisasi
(organizational), kapasitas (capacity building) dan kerjasama (cooperation).
Strategi Membangun Budaya TIK
yang Aman dan Ramah di Lingkungan Pendidikan
Mengingat tingginya kerentanan keamanan informasi serta dampak
negatif yang ditimbulkan pada penggunaan TIK, maka perlu upaya yang kuat dalam peningkatan
kesadaran dan proteksi keamanan informasi dan siber di lingkungan pendidikan.
Pada sisi satuan pendidikan, perlu disusun dan dimplementasikan 5 (lima)
komponen penilaian indeks keamanan siber (GCI), yaitu kebijakan, teknis,
organisasi, penguatan kapasitas dan koordinasi. Strategi ini dinilai cukup
efektif dalam meningkatkan keamanan informasi dan siber.
Dalam komponen kebijakan, perlu ada kebijakan yang mengatur keamanan
dan pidana kejahatan siber. Saat ini sudah ada UU Nomor 11 tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik yang dirubah menjadi UU Nomor 19 tahun 2016,
UU Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi dan UU Nomor 14 Tahun 2008
tentang Keterbukaan Informasi Publik. Kebijakan umum di atas perlu dibuatkan
peraturannya secara sektoral di lingkup lembaga pendidikan terkait keamanan informasi
dan siber, termasuk upaya integrasi materi keamanan informasi dan siber ke
dalam kurikulum pendidikan/sekolah.
Dalam komponen teknis, perlu disusun dan diimplementasikan prosedur
baku di sekolah terkait keamanan informasi yang mengacu pada standar manajemen
keamanan informasi. Saat ini, terdapat standar ISO 27001:2009 Information
Security Management System dan Peraturan Menkominfo Nomor 4 tahun 2016
tentang Sistem Manajemen Pengamanan Informasi. Selain itu, perlu juga dibangun berbagai
program perlindungan informasi terhadap anak, seperti internet sehat dan aman, program
"whitelist Nusantara" berupa daftar konten positif yang layak
untuk anak serta program mendidik lainnya. Dalam komponen organisasi, Kemdibud perlu
membentuk organisasi yang mengelola keamanan informasi, termasuk tim dalam
rangka melakukan respon dan pemulihan insiden komputer/internet/siber atau Computer
Emergency Response Team (CERT). Untuk di lingkungan Kemdikbud, tim tersebut
dapat dibangun pada unit Pustekkom Kemdikbud.
Dalam
komponen penguatan kapasitas, harus ada upaya pengembangan kualitas SDM, organisasi
dan aspek lainnya, termasuk pelatihan, edukasi dan sosialisasi atau seminar terkait
keamanan informasi dan siber. Upaya lainnya berupa sarana diseminasi informasi
melalui portal manajemen keamanan informasi dan siber, layanan media sosial
serta gerakan literasi digital di lingkungan Kemdikbud. Dalam komponen
kerjasama, diperlukan kegiatan kerjasama dan kemitraan dengan pihak lain terkait
keamanan siber, baik antar-instansi maupun antar-negara. Dalam lingkup
internal, Kemdikbud sudah ada kerjasama dengan Lemsaneg (sekarang BSSN) dalam
rangka perlindungan keamanan informasi. Kerjasama dalam lingkup yang lebih
rendah untuk dinas pendidikan pada wilayah Provinsi/Kabupaten sangat
memungkinkan dengan pihak lainnya terkait keamanan informasi dan siber.
Gambar 4. Komponen
Pembangunan Keamanan Siber pada Lembaga Pendidikan
Terkait dengan pemberian
materi keamanan informasi di lingkungan pendidikan, dapat diintegrasikan ke
dalam tahapan pengembangan TIK serta menyesuaikan dengan jenjang pendidikan dari
TK sampai Perguruan Tinggi. Pada tingkat TK, bisa dimulai dengan materi
pengenalan nama dan bentuk fisik terkait perangkat komputer (desktop dan mobile)
serta pengetahuan dasar kegunaannya menjadi sumber informasi. Pada tingkat
SD/MI, dilakukan pemberian materi pengenalan cara menggunakan komputer,
pengenalan jaringan internet, media sosial, latihan pengolahan data dengan
komputer, serta perlunya akses konten yang aman dan positif. Pada tingkat
SMP/MTs, dilakukan penambahan materi pengenalan sejarah dan cara kerja
komputer, pengenalan bagian-bagian komputer dan fungsinya, serta
operasionalisasi komputer dengan baik.
Pada tingkat SMA/MA, dilakukan penguatan materi pengenalan
dan pemahaman prinsip dasar jaringan internet/intranet, cara instalasi jaringan
komputer yang baik, perakitan komputer, penggunaan berbagai layanan internet
dengan baik, pembuatan dan pengelolaan email, langkah awal pemecahan masalah
komputer serta pengetahuan dasar keamanan informasi, termasuk pembuatan akun yang
kuat dan aman. Terakhir untuk tingkat perguruan tinggi, diberikan pemahaman dan
analisis terkait jaringan komputer, analisis keamanan informasi, teknik
proteksi data, termasuk ilmu kriptografi serta langkah mitigasi dan
penanggulangan atas masalah jaringan.
Ketahanan Keluarga menuju Ketahanan
Siber di Lingkungan Pendidikan
Dalam mengoptimalkan upaya
membangun budaya TIK yang aman dan ramah pada lingkungan pendidikan perlu
pelibatan peran keluarga dan masyarakat dalam membina anak didik. Partisipasi
tersebut merupakan bentuk pendekatan pengendalian sosial kepada anak didik dan
masyarakat pada umumnya, yang terdiri dari 3 (tiga) aspek, yaitu pre-emtif,
preventif dan represif. Aspek pre-emtif sebagai bentuk pencegahan sedini
mungkin agar tidak sampai terjadi hal negatif dalam penggunaan siber di
lingkungan anak didik. Usaha yang dilakukan lebih pada menanamkan nilai-nilai
atau norma-norma yang baik sehingga nilai atau norma tersebut terinternalisasi
atau masuk dalam diri anak didik. Dalam usaha ini memberikan penguatan
pendidikan karakter pada anak didik sehingga tidak ada rencana atau niat untuk
menyalahgunakan fungsi siber atau internet.
Aspek preventif merupakan
tindak lanjut dari upaya pre-emtif yang masih dalam tataran pencegahan sebelum
terjadinya kejahatan. Dalam upaya ini ditekankan untuk menghilangkan kesempatan
untuk dilakukannya kejahatan. Teknisnya, dengan melakukan pengaturan dan
filterisasi pada perangkat internet atau siber sehingga para anak didik dan
pengguna layanan internet tersebut tidak dapat mengakses hal-hal negatif atau
dari pihak luar juga tidak dapat melakukan ancaman atau serangan siber terhadap
perangkat internet/siber anak didik kita. Dalam upaya ini, secara teknis perlu
sedikit pengetahuan seperti filterisasi nama website yang boleh dan tidak boleh
diakses, pembatasan pada konten web yang boleh dan tidak boleh diakses.
Sedangkan aspek represif
merupakan bentuk pengendalian sosial termasuk kepada masyarakat termasuk anak
didik pada saat telah terjadi tindak pidana/kejahatan siber. Tindakan tersebut
dapat berupa penegakan disiplin dan/atau hukuman secara proporsional. Bentuk
pengendalian ini diharapkan dapat menindak para pelaku kejahatan siber sesuai
dengan perbuatannya serta memperbaikinya kembali agar pelaku sadar atas
pelanggaran yang dilakukan serta tidak terjadi lagi di kemudian hari. Jika
penyalahgunaan internet tersebut terjadi dalam skala kecil oleh anak didik di
dalam keluarga, maka si anak dapat diberikan hukuman misalnya pelarangan
penggunaan mobile phone, pelarangan penggunaan layanan media sosial,
atau sanksi/hukuman secara positif seperti diwajibkan menulis karangan cerita,
puisi dan lainnya.
Ketiga aspek tersebut harus
dibangun melalui komunikasi dan koordinasi yang terbuka dengan para pihak,
khususnya anak didik. Aspek pre-emptif dan preventif seringnya dilakukan dengan
pendekatan sosialisasi, bimbingan, arahan dan sejenisnya sebelum kejadian
sedangkan represif merupakan tindakan penindakan setelah kejadian. Peran keluarga
dan masyarakat di atas merupakan bentuk kepedulian dan tanggung jawab bersama dalam
upaya peningkatan kualitas pendidikan anak didiknya sekaligus membangun kebersamaan
antar pihak tersebut. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Mendikbud,
bahwa guru, orang tua, dan masyarakat harus dapat menjadi sumber kekuatan untuk memperbaiki kinerja dunia pendidikan dan kebudayaan dalam menumbuhkembangkan karakter dan literasi anak Indonesia.
Dengan kondisi di atas, diharapkan
akan muncul ketahanan keluarga yang melahirkan generasi-generasi bangsa yang
siap dengan tantangan zaman. Selain itu, juga mendorong terwujudnya lingkungan
satuan pendidikan yang aman, nyaman, dan menyenangkan serta berprestasi. Dari
sinergitas tersebut, sangat tepat kiranya bahwa keluarga dan masyarakat menjadi
mitra sekaligus sahabat pendidikan, yang bersama-sama mendorong kualitas
pendidikan di tanah air, termasuk pendidikan karakter.
Gambar 5. Konsep
Integrasi TIK dan Keamanan Siber serta Pelibatan Peran Keluarga dan Masyarakat dalam
Pendidikan
Melalui pelaksanaan integrasi TIK dan pembangunan komponen
keamanan siber pada seluruh jenjang pendidikan serta dilaksanakan secara
terpadu dan berkesinambungan dengan melibatkan partisipasi peran keluarga dan
dukungan masyarakat, diharapkan secara bertahap akan terjadi perubahan positif
pada pola pikir dan perilaku pengguna di lingkungan pendidikan terhadap
keamanan informasi dan siber. Bukan tidak mungkin, perubahan tersebut menjadi
suatu budaya TIK tersendiri di lingkungan pendidikan yang aman dan ramah dalam
rangka perlindungan informasi dan aset-aset penting lainnya sehingga mendukung
penguatan penyelenggaraan pendidikan dan kebudayaan di tanah air. Lebih dari
itu, hasil dari pelaksanaan budaya TIK tersebut untuk mewujudkan pembangunan
manusia Indonesia yang berkualitas dan berkarakter serta mendukung ketahanan
siber bangsa di tengah ancaman dan tantangan globalisasi dunia.
#sahabatkeluarga
#sahabatpendidikan
#literasianak
#pendidikankeluarga
#menguatkanpendidikanmemajukankebudayaan
Referensi
:
1. The EFA Development
Index (EDI) - The United Nations Organization for Education, Science and
Culture (UNESCO)
https://en.unesco.org/gem-report/sites/gem-report/files/Index_Tables_2011.pdf
2. JPPI: Indeks Pendidikan
Indonesia di Bawah Ethiopia dan Filipina
https://news.detik.com/berita/3454712/jppi-indeks-pendidikan-indonesia-di-bawah-ethiopia-dan-filipina
3. Human Develepomen
Report 2016, United Nations Development Programme (UNDP)
http://hdr.undp.org/sites/default/files/2016_human_development_report.pdf
4. Rencana Strategis
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2015-2019
·
https://luk.staff.ugm.ac.id/atur/RenstraKemdikbud2015-2019.pdf
·
http://repositori.perpustakaan.kemdikbud.go.id/28/1/RENSTRA%20Kemdikbud%202015_2019.pdf
5. Modelling ICT
Development in Education
https://unevoc.unesco.org/fileadmin/up/modelling_ict.pdf
6. Measuring the
Information Society Report 2017, International Telecommunication Union (ITU)
https://www.itu.int/en/ITU-D/Statistics/Documents/publications/misr2017/MISR2017_Volume1.pdf
7. Data Survey Penetrasi dan
Perilaku Pengguna Internet 2017 APJII
https://web.kominfo.go.id/sites/default/files/Laporan%20Survei%20APJII_2017_v1.3.pdf
8. KPAI: Kasus Pornografi dan
Kejahatan Siber Anak Meningkat
·
https://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/17/08/28/ovdm30359-kpai-kasus-pornografi-dan-kejahatan-siber-anak-meningkat
·
https://www.liputan6.com/tekno/read/2173844/kpai-ribuan-anak-indonesia-jadi-korban-pornografi-internet
9. Global Cybersecurity
Index 2017, International
Telecommunication Union (ITU)
https://www.itu.int/dms_pub/itu-d/opb/str/D-STR-GCI.01-2017-PDF-E.pdf
10. Keluarga Bagian Penting dalam Membangun Ketahanan Keluarga
https://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id/laman/index.php?r=tpost/xview&id=4631
11. Guru, Orang Tua, dan Masyarakat Sumber Kekuatan Dunia Pendidikan dan Kebudayaan
https://sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id/laman/index.php?r=tpost/xview&id=4752
----------------------
*Penulis merupakan pegawai pada salahsatu instansi
pemerintah pusat di Jakarta, Pengurus
Divisi Litbang dan Penguatan Kapasitas LTN PBNU Jakarta. Penulis memiliki
ketertarikan pada bidang Manajemen SDM, Pendidikan, Keamanan Informasi dan
Kriptografi.
Baca selengkapnya ...