.: My Letters 4 My Life :.

20 December 2006

PKB, Tamatkah Riwayatmu?


Sebagai partai yang lahir dari rahim PB NU, idealnya PKB bisa menyatukan potensi dan sumber daya manusia NU dalam suatu wadah politik tunggal yang baik. Namun realitasnya, hal ini tidak mudah dilakukan meskipun secara historis NU sedari awal turut berkiprah dan berpengalaman panjang dalam jagad perpolitikan bangsa, khususnya setelah menjelma sebagai partai politik sendiri, yaitu Partai NU (1952 - 1973). Sejarah bangsa pun mencatat, Partai NU waktu itu cukup solid dan begitu disegani oleh partai-partai lainnya karena kekuatannya yang besar.

Kini, PKB yang dianggap sebagai penjelmaan partai warga NU masih di dera berbagai masalah. Salah satu masalah terkini adalah terjadinya perpecahan di kalangan kyai. Hal ini tentunya menjadi problem serius bagi perkembangan PKB ke depan, karena posisi kyai sangat strategis dan bisa dikatakan sebagai salah satu ”pemegang saham” terbesar di partai ini. Parahnya, perpecahan tersebut berujung pada pembentukan partai baru di kalangan warga NU. Bahkan dalam suatu sumber berita (Rakyat Merdeka Online, 23/11 2006), K.H. Ma’ruf Amin (Rais Syuriyah PB NU), salah seorang kyai NU yang cukup berpengaruh dan dulu turut serta dalam pembentukan PKB pada tahun 1998 berpendapat bahwa riwayat PKB kini sudah tamat. Benarkah?

PKB dan Dinamika Konflik
Sejak kelahirannya pada tanggal 23 Juli 1998, PKB dinilai belum mampu secara maksimal untuk menjadi ”rumah politik” yang nyaman bagi warga NU. Indikasi ini bisa terlihat dari realitas internal partai yang selalu terjadi konflik sampai pada fase pertentangan yang akut, yaitu terjadinya perpecahan. Setelah Matori Abdul Djalil -mantan Ketua Umum PKB- dipecat dari kepengurusan dan membentuk Partai Kejayaan Demokrasi (PKD) bersama kader muda PKB, Abdul Khalik Ahmad, kini di penghujung akhir 2006, sejumlah kyai pendukung PKB pun mengambil sikap mufaraqah dari PKB dengan membentuk partai baru, yaitu Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU), yang berasaskan Islam berhaluan Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.

PKNU ini bisa dikatakan sebagai reinkarnasi dari PKB versi Muktamar Surabaya pimpinan K.H. Abdurrahman Chudhori dan Drs. H. Choirul Anam. Ini dikarenakan PKNU lahir dari buah ekspresi akhir pendukung PKB Anam atas gagalnya pertarungan ”memperebutkan” kepemimpinan PKB yang sah melawan K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Muhaimin Iskandar pasca dikeluarkannya Putusan Kasasi MA No. 02/K/Parpol/ 2006 tanggal 7 September 2006 dan Surat Menkumham No. M14-UM.06.08 Tahun 2006 tanggal 11 September 2006.

Sejumlah kyai yang terlibat dalam pembentukan PKNU diantaranya K.H. Abdullah Faqih (Langitan, Tuban), K.H. Abdurrahman Chudlori (Tegalrejo, Magelang), K.H. Idris Marzuki (Lirboyo, Kediri), K.H. Nurul Huda Djazuli (Ploso, Kediri), K.H. Ma'ruf Amin (Jakarta), K.H. Warsun Munawwir (Krapyak, Yogyakarta), K.H. Muhaiminan Gunardo (Parakan, Temanggung), K.H. Dimyati Rois (Kendal) dan K.H. Sofyan Miftahul Arifin (Situbondo). Beberapa kyai di atas merupakan kyai khos NU yang selama ini dikenal sebagai bagian dari Forum Ulama Langitan, yang dulunya sering menjadi rujukan Gus Dur dalam mengambil berbagai keputusan.

Pada perkembangannya, K.H. Idris Marzuki menyatakan ketidaksetujuannya dengan nama PKNU karena dianggapnya nama tersebut tidak populis dan susah dicerna oleh umat di bawah. Pengasuh Ponpes Lirboyo Kediri itu lebih setuju jika nama dari partai yang baru dibentuk tersebut dengan nama Partai Bintang Sembilan. Istilah ”Bintang Sembilan” merupakan istilah yang sangat dikenal oleh kalangan NU karena kata ini merupakan identitas NU. Bahkan istilah tersebut sudah muncul pada awal pembentukan partai untuk warga NU pada tahun 1998 yang terjadi di Purwokerto, termasuk juga Partai Kebangkitan Umat (Perkanu) di Cirebon.

Kondisi politik PKB yang kurang kondusif di atas tentu saja bisa membingungkan konstituen PKB di bawah, khususnya Nahdliyyin yang menjadi basis utamanya. Apalagi ditambah dengan adanya proses recalling anggota FKB di DPR-RI dari kubu Anam yang selama ini bersebarangan, yaitu A.S. Hikam, Idham Cholied, Anas Yahya dan Saleh Abdul Malik. Proses recall ini tentu saja menimbulkan image negatif terhadap DPP karena terkesan berjiwa otoriter terhadap anggota yang berbeda pandangan meskipun DPP menilai bahwa hal itu sudah melalui prosedur administratif dan anggota yang di-recall tersebut tidak berkomitmen untuk membesarkan partai.

Belakangan ini, muncul wacana ”menengok rumah lama” atau kembali ke PPP dari tokoh muda PKB, Syaifullah Yusuf (Gus Ipul), yang juga mantan Sekjen PKB Anam. Gus Ipul memandang bahwa wacana ”menengok rumah lama” ini sebagai salah satu bentuk solusi untuk keluar dari konflik PKB. Wacana ini pun diikuti dengan langkah beliau mendekati tokoh-tokoh PPP, seperti HA Thoyfoer MC, tokoh PPP dari Jawa Tengah, dan KH Maimun Zubair, Ketua MPP DPP. Bahkan, acara halal bihalal yang diadakan oleh GP Ansor pun mengambil tajuk ”Semalam Menjadi PPP” dengan mengundang tokoh-tokoh PPP.

Eksistensi PKB ke Depan
Berbagai permasalahan yang selama ini mendera PKB bisa jadi akan membawa dampak serius jika tidak diselesaikan dengan sungguh-sungguh dan diikuti dengan kerja nyata sampai ke jaringan PKB di bawah. Tentu saja, dampak serius dari kondisi di atas adalah kemungkinan merosotnya jumlah suara PKB pada pemilu 2009, seperti yang terjadi pada pemilu 2004, dimana PKB turun sekitar 2% suara dari pemilu 1999. Terlebih, kini sejumlah kyai basis pendukung PKB di Jawa Tengah dan Jawa Timur sebagai lumbung suara PKB merapatkan barisan di tubuh PKNU.

Namun kalau kita menengok pengalaman 2 (dua) kali pemilu pasca reformasi, keberadaan PKB tetap eksis dan tidak bisa disaingi oleh partai lainnya yang berbasis Nahdliyyin, bahkan secara keseluruhan dari total suara pemilu, PKB tetap berada di jajaran 3 (tiga) besar. Beberapa partai politik yang berbasis massa NU pasca reformasi dan ikut dalam pemilu antara lain PKU-nya K.H. Yusuf Hasyim, Partai PNUI-nya K.H. Syukron Ma’mun, Partai SUNI-nya Abu Hasan, PPP dan PBR. Sebagian dari partai-partai tersebut kini terancam bubar, karena hasil perolehan suaranya pada pemilu lalu tidak memenuhi ambang batas suara (electoral treshold) yang ditentukan oleh KPU.

Menurut penulis, hal yang menjadi daya tarik Nahdliyyin untuk tetap memilih PKB, selain kelahirannya direstui dan difasilitasi oleh PB NU serta dideklarasikan oleh tokoh-tokoh NU terkemuka (K.H. Ilyas Ruhiyat, K.H. Muchith Muzadi, K.H. Munasir Ali, K.H. Abdurrahman Wahid dan K.H. Mustofa Bisri) adalah juga karena adanya ”putra emas” NU dalam tubuh PKB yaitu Gus Dur sendiri, yang sampai saat ini masih menjabat sebagai Ketua Dewan Syuro PKB. Gus Dur dinilai oleh sebagian warga NU bukan sekedar tokoh NU semata dengan segudang ilmu dan pengalaman, namun juga ”magnet” dengan daya tarik yang sangat kuat. Bisa jadi, hal ini tidak hanya karena sosok beliau dari kalangan ”darah biru” NU, tetapi juga efek dari lamanya kepemimpinan Gus Dur yang panjang selama 3 (tiga) periode di tubuh organisasi keagamaan terbesar di tanah air itu (1984 - 1999). Bahkan tak bisa dipungkiri, kiprah sebagian politisi NU di negeri ini, khususnya pasca reformasi, tidak terlepas dari peran seorang Gus Dur.

Kelebihan lainnya, PKB sudah memiliki image yang begitu kuat pada masyarakat NU sebagai partainya ”wong NU”, khususnya masyarakat pedesaan. Hal ini sesuai dengan pernyataan salah seorang pengamat politik, Laode Ida bahwa dukungan massa arus bawah terhadap PKB itu sudah seatle sebagai partai politik yang besar. Sedangkan pengaruh dari kyai-kyai yang berada di belakang PKNU, Wakil Ketua DPD ini berpendapat, bahwa pengaruh mereka terhadap keberlangsungan (akhir) PKB ada ketika para tokoh (kyai) di tingkat lokal solid satu sama lain. Kalau tidak solid, maka massa akan kembali ke partai yang dipimpin Gus Dur (PKB).

Secara infrastruktur, PKB juga tidak hanya memiliki jaringan yang kuat di tanah air, tetapi juga ada di luar negeri, seperti di Mesir, Malaysia dan lainnya. Apalagi, jatidiri PKB yang bersifat nasionalis relijius berdasarkan Pancasila, memungkinkan PKB bisa menjaring massa lebih besar lagi, termasuk dari unsur non-NU dan non-Islam. Hal ini berbeda dengan partai-partai berbasis Nahdliyyin lainnya yang berasaskan Islam dan terkesan sektarian. Dengan demikian, kiranya beralasan bahwa tidak ada istilah end of life (tamat riwayat) pada PKB, bahkan eksistensinya tetap diperhitungkan dalam ranah perpolitikan bangsa.

Ragunan, 15 Desember 2006


Baca selengkapnya ...

13 December 2006

3-in-1 Updates



Setelah sekian lama blog ini vacuum karena ada berbagai kegiatan yang menyita waktu, maka kembali saya coba torehkan abstract letters yang berjudul “3-in-1 Updates”. Judul ini hanya menggambarkan suatu 3 abstraksi singkat ke dalam 1 tulisan seputar kegiatan saya selama ini. Tiga abstraksi yang saya angkat tersebut berdasarkan pada 3 (tiga) lokasi kegiatan, yaitu Bandung (ITB), Yogyakarta (Malioboro) dan Jakarta.

Bandung
Seminggu sudah - 5 hari++ - saya berlatih dan bergelut di Bandung, tepatnya di CAD Room, Gedung PAU, Institut Teknologi Bandung (ITB). Selama itu, saya bersama tim disuguhkan bagaimana merancang dan mengaplikasikan suatu rangkaian digital pada FPGA. Bahasa pemrograman hardware yang digeluti pada training ini adalah VHDL.

Tidak mudah memang untuk meng-coding bahasa mesin dengan VHDL bagi saya seorang pemula, apalagi targetnya bukan sekedar coding, melainkan ada tambahan menu khusus, yaitu kriptografi. Belum lagi kalau melihat sisi lainnya, yaitu interkoneksi di dalam hardware dan lain-lain.

Berikut gambaran singkat tentang FPGA dan VHDL :

“FPGA atau Field Programmable Gate Array merupakan Integrated Circuit (IC) yang fleksibel dan dapat dipakai secara berulang dengan cara mengkonfigurasi rangkaian oleh seorang programmer. Secara umum, blok-blok pembangun pada FPGA terdiri atas 3 (tiga) blok : programmable logic blocks, programmable interconect, programmable I/O blocks. Programmable logic blocks merupakan tahapan bagaimana mengimplementasikan combinatorial dan sequential logic. Programmable interconect menggambarkan wire untuk menghubungkan input dan output ke blok-blok logic. Programmable I/O blocks merupakan blok-blok logic khusus pada bagian peripheral devais untuk koneksi eksternal.

VHDL atau Very High Speed Integrated Circuit Hardware Description Language merupakan bahasa pemrograman untuk pemodelan hardware. VHDL ini berbeda dengan bahasa program lainnya dalam hal tugas yang dieksekusi, karena dalam VHDL ada 2 (dua) jenis pernyataan dasar, yaitu sequential dan concurrent. Sedangkan metodologinya ada 3 (tiga) yaitu abstraction, modularity dan hierarchy. Dalam perancangan IC, ada 4 (empat) tingkatan abstraksi yaitu behaviour, RTL, logic dan layout. Behaviour menggambarkan tentang fungsi dari suatu sistem yang dimodelkan dengan proses2, RTL (Register Transfer Level) merupakan tahapan yang terdiri dari proses kombinasional murni dan proses dengan clock. Logic level berisi daftar gate-gate yang digunakan dalam design beserta interkoneksinya. Sedangkan layout merupakan tampilan dari desain yang kita lakukan. Modularity dan hierarchy merupakan bentuk pembagian dalam beberapa desain, membatasi kompleksitas, mengaktifkan teamwork dan studi implementasi alternatif.”


Saya bersyukur sekali bisa bersua dan berdiskusi dengan para akademisi di sini, tentunya karena kualitas ilmu mereka, sehingga sedikit banyak bisa membuka cakrawala bagi tim, khususnya saya sendiri.

Yogyakarta
Awalnya berangkat ke Yogya penuh dengan keletihan, kecapean dan ketidaknyamanan. Maklum, pasca training di ITB yang penuh dengan dunia coding yang bikin mumet, saya mesti langsung go ke Yogya menyusul tim lainnya yang sudah ada di sana. Apalagi, pengalaman naik kereta antar daerah (Bandung-Yogya) baru pertama kalinya buat saya karena terbiasa naik bus AKAP kalau pulang kampung atau refreshing ke suatu tempat. Alhamdulillah, ada teman saya, Jay (dulunya se-SMP, alumni ITB), yang turut membantu “kepulangan” saya dari pemesanan tiket sampai pengantaran ke stasiun. Thanks very much Jay ….. –maaf juga ya Jay udah ngrepotin kamu. Oh ya, ku suka kampus mu, dingin dan mengasyikkan :) -

Di Yogya ini, saya melancong selama 2 (dua) hari dengan tujuan mencari data, entah survey lokasi, wawancara dan lainnya. Data yang saya maksud berkaitan dengan tugas kantor di Jakarta. Alhamdulillah, meski dengan waktu yang relatif singkat, kami bisa bisa menikmati pencarian data itu, apalagi markas penginapan kami di jalan Malioboro, yang penuh “hiruk pikuk” warga Yogya 24 jam non-stop. Setelah data itu dirasa cukup, terbanglah saya bersama tim kembali ke markas besar di Jakarta dengan Garuda 211.

Jakarta
Nah, setelah “balik kandang”, biasanya saya dihadapkan pada keseharian saya, namun yang ini ternyata ada plus-nya. Saya mesti pasang kaki untuk bisa jalan ke sana ke sini, maklum untuk konsolidasi tim di kantor tidak enak kalau cuma via telepon.

Kini, tugas-tugas ke depan “membayang” terus dihadapan, seperti bayangan wajah seseorang nun jauh disana. Tentu saja bukan hanya tugas kantor, juga aktifitas “pergerakan” lainnya di luar, seperti di FKMB dll. Mudah-mudahan tugas2 itu segera diselesaikan sesuai time scheduling yang sudah ditentukan. Amin

Jakarta, 13 Desember 2006
al-Brebesy


Baca selengkapnya ...