.: My Letters 4 My Life :.

23 May 2006

Dilematisme Kata Sandang “Gus”

Gus, kata sandang yang biasa kita dengar untuk kalangan Nahdliyyin, baik dari golongan “darah biru” maupun “kapabilitas ilmu”-nya sungguh bisa menjadi dilematis. Hal ini terjadi jika kata sandang Gus tersebut menjadi suatu kata umum bagi generasi Nahdliyyin dalam mengidentitaskan ke-NU-annya. Jika menjadi kata umum, maka kata sandang tersebut tidak otomatis memberikan makna atas “darah birunya” atau kapabilitas ilmunya melainkan hanya sebagai identitas panggilan saja.

Inilah yang terjadi pada diri saya. Panggilan Gus Maul bukanlah suatu ungkapan yang menyertakan atas kapabilitas ilmu, apalagi darah biru. Kata Gus yang menyertai nama saya hanya bagian dari integral nama lengkap saya, Agus Maulana dan “kebetulan” secara kultural, saya hidup dalam “roh” Nahdlatul ‘Ulama. Berbeda dengan Gus Dur, Gus Mus, Gus Sholah dan Gus-Gus lainnya yang secara identitas melambangkan ke-darah biru-annya, juga kapabilitas ilmunya.

Di saat seorang tokoh NU bergelar Gus, yang saya anggap sebagai Maha Guru di NU mengeluarkan statement “kontroversial”, maka secara sadar pula, saya sebagai “generasi” NU turut prihatin, meskipun dalam keprihatinan itu saya sadar belum melakukan “cross-cek” langsung ke beliau. Dalam posisi ini, saya pun berusaha untuk turut berkomentar dan sedikit “mengkritik” meskipun bermaksud “konstruktif”. Cara pandang dan pikiran saya yang mungkin belum menjangkau “alam pikir” beliau menjadi momok bagi saya sendiri.

Tanggapan dan kritik terhadap saya pun bermunculan. Dari soal ke-NU-an saya, tingkat ketaatan saya kepada Ulama, cara berpikir saya dan lain-lainya, meskipun ada juga yang sepaham dengan pendapat saya. Ku sungguh bukanlah ingin menjadi generasi “Murtadin” dari jiwa Nahdliyyin, namun ku ingin menjadi generasi yang ingin tumbuh dalam rumah yang dinamis, sehat, adem ayem dan bisa hidup berdampingan dengan umat lainnya, tanpa penuh kontroversialisme. Saya sadar, salah-ku adalah tidak ber-tabayyun dulu dan langsung “mengeluh” sambil “mengkritik” beliau. Oleh karenanya, setelah ada informasi sekitar “klarifikasi” informasi yang kontroversial tersebut, ku pun tidak segan-segan mem-broadcast-nya juga.

Yang menjadi ke-tidakenak-an utama saya adalah “sindiran” kata sandang “Gus” pada nama saya, yang katanya “tidak mampu” membaca perkataan dari “Gus” yang sebenarnya. Saya memaklumi tanggapan itu, karena dia belum tahu bahwa kata Gus pada sebutan saya bukanlah identitas kapabilitas saya, apalagi generasi “darah biru”, melainkan bagian integral dari nama lengkap saya. Tetapi, apakah dunia mengkritik dalam dunia ke-NU-an menjadi tabu hanya saja nama “Gus Sekedar Sebutan Nama” melawan “Gus Darah Biru” ? Mudah-mudahan tidak.

Ragunan, 23 Mei 2006


Baca selengkapnya ...