.: My Letters 4 My Life :.

15 November 2006

Mimpi & Gus Dur


Gus Dur sering tertidur ketika seminar, bahkan ketika sidang MPR dalam kapasitasnya sebagai Presiden RI, tetapi tidurnya tidak sama dengan tidur kita. Sejarah orang besar juga akrab dengan tidur yang produktip. Imam Syafei menurut suatu riwayat ia baru bisa merumuskan berbagai pemikiran fiqhnya secara sistematis, setelah terlebih dahulu tidur. Tidur bagi orang besar (besar kapasitas spiritualnya) merupakaan saat menata memori hingga informasi yang ada di dalamnya tersusun rapi sesuai dengan struktur kebenaran logis atau fralsafi. Para ulama biasanya sebelum tidur terlebih dahulu berwudlu, salat tahajud dan menyambung pemancar spiritualnya ke nurilahiyah. Tidurnya orang yang duduk mendengarkan khutbah Jum`ah malah menurut fiqh tidak membatalkan wudlunya. Tidurnya orang puasa jga berpahala.

Konon sewaktu Gus Dur menjadi Presiden, banyak sekali pembisik yang datang. Semua bisikan didengar, tetapi kemudian ia tidur dan setelah tidur lahirlah keputusan presiden yang mengejutkan semua pembisiknya. Kebanyakan Presiden yang dijatuhkan akhirnya benar-benar jatuh. Bung Karno tidak berani keluar rumah setelah tidak jadi Presiden. Pak Harto juga tidak lagi leluasa berkomunikasi dengan dunia luar setelah lengser. Habibi butuh waktu beberapa tahun ngungsi ke Jerman sebelum meluncurkan buku memorinya yang menghebohkan. Megawati bahkan hingga kini tidak berani hadir di istana pada hari upacara proklamasi kemerdekaan RI, juga belum siap ketemu SBY yang pernah menjadi bawahannya. Hanya Gus Dur, meski sudah strook dua kali, tetapi tetap saja percaya diri ketemu dengan siapa saja. Ia temui Pak harto, Megawati, Amin rais dan SBY, Akbar Tanjung tanpa beban, tanpa repot-repot. Di rumahnya bilangan Ciganjur, para bekas presiden dan presiden, juga bekas musuh-musuhnya, pada dating menghadiri akad nikah puterinya. Ke Israel, ia juga tak problem kesana.

Pada diri Gus Dur itu terkumpul beberapa pemancar yang bisa dihubungkan dengan satelit spiritual; intelektual, sufistik dan mistik. Dari orang seperti Gus Dur susah dibedakan mana yang gagasan, obsessi dan mimpi karena ketiganya sering muncul bareng dan dan urutannya sering tidak konsistren. Gus Dur dikenal sangat konsisten dalam ketidak konsistenannya. Sekarang orang baru menyadari sesungguhnya Gus Dur tidak melakukan kesalahan yang mengharuskannya dilengserkan. Juga banyak gagasannya yang aneh-aneh, tapi sepuluh-duapuluh tahun kemudian baru terasa relevan. Pada tahun
1983an,di depan diskusi CSIS , dikala NU belum dihitung, ia mengatakan bahwa nanti akan terjadi semua presiden akan mencari wakilnya dari NU. Semua orang tertawa karena menganggapnya lawakan, tetapi pada tahun 2004, lawakannya menjadi kenyataan. SBY, Megawati, Wiranto,dan Agum Gumelar, semuanya capres, mereka memang memilih orang NU menjadi cawapresnya, yaitu Yusup Kalla, Hasyim Muzadi, Solahuddin Wahid, dan Hamzah Haz.

Pemimpin itu ada yang datang tepat waktu, ada yang kedaluwarsa, dan ada yang datang terlalu cepat. Gus Dur termasuk pemimpin yang terlalu cepat datang mendahului zamannya, oleh karena itu banyak gagasannya tidak bisa difahami orang sekarang. Dalam perspektip pewayangan, Gus Dur itu memiliki karakteristik kepribadian Semar (guru), Petruk (pelawak) dan Togog (tokoh ngawur) sekaligus. Hal yang begitu serius disampaikan sebagai lawakan, terkadang dibalik ngomong ngawurnya, ada juga benarnya. Maknanya Gus Dur tak pernah salah, yang salah adalah yang mendengarkan tanpa menseleksi mana kata katanya sebagai Guru bangsa (Semar), mana yang sekedar lawakan (Petruk) dan mana yang sekedar ngawur-ngawuran (Togog). Bingung kan ? Wallohu a`lam.

-----------------------
Dikutip dan seijin dari rekan "agussyafii" via blognya di : http://mubarok- institute.blogspot.com ... maklum saya pribadi lagi ngga "mood" buat nulis-nulis ... mungkin untuk tulisan berikutnya .. mudah2an


Baca selengkapnya ...

08 November 2006

Kontroversi Lebaran Hari Senen

Oleh KH. Maimun Zubair

Akhir-akhir ini, banyak perbedaan dan kesimpangsiuran pendapat yang dapat menimbulkan kebencian, permusuhan, dan perselisihan umat dan para pemimpinnya mengenai urusan agama yang tidak terjadi pada masa pendahulu kita, masa di mana perbedaan adalah rahmat sebagaimana yang dimaksudkan oleh Hadis Nabi, “Perbedaan umatku adalah rahmat.”

Pada masa pendahulu kita, umat juga berbeda. Masing-masing dari mereka berpegang pada hasil ijtihadnya tanpa harus melecehkan sesama ahli ijtihad atas dasar mujtahid tidak bertaklid kepada mujtahid lain. Para sahabat Rasulullah juga berbeda dalam memahami instruksi Rasulullah, “seseorang tidak boleh shalat kecuali di kampong Bani Quraidzah.” Sebagian dari sahabat mengerjakan shalat di jalan sebelum sampai di kampong Bani Quraidzah. Mereka berpendapat, “Rasulullah hanya menginginkan gerak dan jalan cepat. Tidak boleh mengeluarkan shalat dari waktunya.” Sebagian lagi mengambil lahirnya Hadis, karena itu mereka tidak mengerjakan shalat sehingga sampai di Bani Quraidzah. Rasul membenarkan apa yang dilakukan oleh masing-masing dari mereka sesuai dengan ijtihadnya. Dan inilah yang dijadikan pegangan oleh kaum muslimin sejak masa keemasan dan masa ahli ijtihad sampai masanya ahli taklid. Para muqallid pun berbeda atas dasar pengambilan mereka dari para imamnya tanpa ada cacian dan celaan di antara mereka. Hal demikian tentu tidak aneh karena tujuan mereka hanyalah mencarai ridha Allah swt. Tujuan mereka adalah satu. Hati mereka pun juga satu. Pada hakikatnya, tidak ada perselisihan di antara mereka.


Para mujtahid berbeda mengenai waktu shalat dan keutamaannya. Demikian juga mereka berbeda di sebagaian haiat shalat sehingga di masjid-masjid besar, seperti Masjid al-Haram, Masjid an-Nabawi, dan Masjid al-Aqsha, dibangun empat mihrab untuk imam demi kemaslahatan para jama’ah sesuai dengan mazhabnya masing-masing. Tidak ada perselisihan dan permusuhan di antara mereka. Perbedaan di antara mereka didasarkan atas sikap berpegang teguh kepada tali agama Allah,{Berpeganglah kamu semua kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai berai} (Ali ‘Imran: 103), bukan karena mengikuti hawa nafsu, dorongan syetan, dan perilaku kesewenang-wenangan. Dalam konteks inilah perbedaan yang terjadi di antara para pendahulu kita generasi yang shalih. Jika di antara mereka mencul perbedaan mengenai suatu persoalan, maka perbedaan itu menjadi sebab bagi kemaslahatan umat, bagaikan pohon yang kembangnya mempesona, daunnya hijau, dan yang menghasilkan buah-buahan yang indah. Dan akar pohon itu pun kuat menancap di bumi {Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya menjulang ke langit, pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya) (Ibrahim: 24)

Sekarang, yang kita alami berbeda sekali dengan apa yang dialami oleh para pendahulu kita. Kita berbeda pendapat dan terpecah menjadi beberapa kelompok karena mengikuti hawa nafsu. Setiap kelompok mengklaim berpijak di atas kebenaran. Semuanya menyerukan kepada umat agar mengikutinya, dan pada saat yang sama mencela kelompok lain sebagai kelompok yang salah dan sesat menyesatkan. Setiap orang bangga dengan pendapatnya sendiri dengan tidak meneladani kepada para pendahulunya dari kalangan ulama, mujtahid, dan muqallid. Boleh jadi mereka mengambil pendapat orang-orang yang bodoh untuk membatalkan, mencela, dan melecehkan pendapat lawannya agar kelompoknya tampil dominan. Dan mereka pun membanggakannya dengan penuh kesombongan. {Tiap-tiap golongan bangga dengan apa yang ada golongan mereka} (ar-Rum: 32). Mereka mengira bahwa perbuatannya seperti itu tidak ada konsekuensinya, {Tidak ada satu jiwa pun melainkan ada penjaganya} (at-tariq: 4).

Masa sekarang ini adalah masa kemajuan dan perkembangan sarana informasi, masa di mana hubungan di antara berbagai penjuru dunia berlangsung melalui informasi dengan menggunakan peralatan modern yang canggih. Dunia menjadi kecil, bagian timur dunia pun dapat bertemu dengan bagian barat. Fenomena seperti in dengan sendirinya mempengaruhi kaum cendekia sehingga berpaling dari sikap istiqamah yang senantiasa dijalani oleh para as-salafu ash-shalih. {Hingga apabila bumi itu telah sempurna keindahannya dan memakai pula perhiasaannya, dan pemilik-pemiliknya mengira bahwa mereka pasti menguasainya} (Yunus: 24).

Baru-baru ini, umat Islam Indonesia berbeda pendapat mengenai hari raya idul fitri 1427 H sebagaimana yang pernah terjadi berulangkali pada tahun-tahun sebelumnya. Sebagian dari mereka melaksanakan ‘id pada hari Senen, dan sebagian lagi pada hari Selasa. Sebagian Ormas menetapkan ‘id jatuh pada hari Senen; dengan demikian puasanya adalah 29 hari karena berpedoman pada anggapan mereka yang salah bahwa hilal telah wujud pada malam Senen atas dasar ketentuan hisab mereka, meskipun melihat hilal tidak mungkin dilakukan. Sebagian kelompok juga berlebaran pada hari Senen karena berangapan bahwa pada malam Senen hilal dapat dilihat. Mereka pun menyebarkan ikhbar ke beberapa daerah dan propinsi dengan menggunakan peralatan modern. Mereka juga menjelaskan—menurut anggapan mereka—kebenaran hujjah yang mereka gunakan dan menyerukan kepada umat agar mengikuti mereka dalam menentukan hari ’idul fitri. Lebih dari itu, mereka merasa benar walaupun ru’yah-nya tidak diterima oleh Departemen Agama. Meskipun demikian, mayoritas kaum muslimin menyempurnakan puasanya genap 30 hari dan melaksanakan ‘id pada hari Selasa karena mengikuti keputusan Departemen Agama yang menolak kesaksian orang yang mengaku telah melihat hilal dan karena berpegang pada ketentuan hisab qat’i yang sudah disepakati oleh para ahlinya perihal tidak adanya kemungkinan ru’yah pada malam Senen. Dengan kejadian seperti ini, timbullah kegaduhan di antara kaum muslimin yang dipicu oleh suara-suara takbir yang menggunakan pengeras suara di masjid-masjid dan di jalan-jalan karena mengikuti dorongan hawa nafsu.

Berkaitan dengan hal-hal di atas, saya ingin memaparkan penjelasan-penjelasan para imam kita mengenai persoalan tersebut agar dapat menjadi pegangan bagi diri saya sendiri dan bagi kita semua. Hal ini karena tulisan harus dipertanggungjawabkan; ia adalah perbuatan orang mukallaf, dan karena itu harus ada penilaian dari kita terhadap hukum-hukum syara’. Hukum adalah khitab Allah yang terkait dengan perbuatan orang-orang mukallaf. Oleh karena itu, janganlah engkau mengira bisa bebas berbuat apa saja. Tidak ada sesuatu yang bisa lepas dari tangung jawab. Demikian halnya dengan ikhbar (pemberitaan). Tidak ada penulis yang tidak diuji dan diminta pertangungjawabannya atas apa yang ditulis oleh tangannya. Oleh karena itu, janganlah emgkau menulis sesuatu dengan telapak tanganmu selain apa yang bisa membuatmu senang melihatnya pada hari kiyamat. Tulisan berikut saya bagi menjadi beberapa fasal sesuai dengan maksud penjelasan-penjelasan ulama yang ada. Kepada Allah saya bersandar, dan kepada-Nya saya memohon taufiq.

Kesalahan Melaksanakan Hari Raya pada Hari Senen

Ketahuilah bahwa orang yang berbuka pada hari Senen, baik berpegang kepada kesimpulan hisab dengan wujudnya hilal pada malam Senen atau kepada pengakuan sejumlah orang yang melihat hilal, tidaklah mempunyai dalil yang kuat, bahkan tidak mempunyai hujjah syar’iyyah yang bisa dijadikan pegangan. Mereka salah dan tersesat karena tidak merujuk pada pendapat para imam dan as-salaf ash-shalih yang senantiasa berpegang teguh pada Alquran dan Sunnah; dalam hal ini kesalahan mereka bisa dilihat dari beberapa hal berikut:

Pertama, sikap mereka yang menentang terhadap waliyyu al-amri; dalam hal ini adalah Departemen Agama dengan keputusannya yang menyatakan bahwa 1 Syawal jatuh pada hari Selasa atas dasar penyempurnaan Ramadhan menjadi 30 hari. Keputusan ini didasarkan atas tiadanya ru’yah yang dapat dipertanggungjawabkan secara syar’i pada malam Senen dan tiadanya kemungkinan ru’yah pada malam tersebut atas dasar hisab yang qat’i. Sebagaimana dimaklumi, menetapkan awal bulan merupakan hak qadhi (hakim) atau menteri agama. Oleh karena itu, tidak ada hak bagi seseorang atau lembaga untuk menetapkan awal bulan, meskipun mereka melakukannya atas nama ikhbar, dan seseorang tidak boleh menentang ketentuan tersebut karena dapat menimbulkan fitnah dan perpecahan di antara kaum muslimin dalam urusan agama. Ketentuan ini didasarkan atas beberapa ayat Alquran, Hadis, dan pendapat ulama dulu sebagai berikut:

{Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan rasul-Nya, jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya} (an-Nisak: 59)

Dalam tafsirnya mengenai ayat tersebut, al-Qurtubi mengatakan: “Jika pada ayat-ayat sebelumnya sasarannya adalah penguasa, dan Allah memulai dengan mereka, kemudian Allah memerintahkan kepada mereka untuk melaksanakan amanat dan memutuskan hukum di antara manusia dengan adil, maka pada ayat ini yang dijadikan sasaran adalah rakyat dengan rincian sebagai berikut: pertama, Allah memerintahkan kepada umat manusia untuk taat kepada Allah; dalam hal ini dengan menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya; kedua, Allah memerintahkan kepada umat manusia untuk taat kepada Rasul-Nya berkenaan dengan perintah dan larangannya; dan ketiga, perintah untuk taat kepada para pemimpin menurut pendapat para sahabat besar, seperti Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas, dan lain-lainnya. Sahal bin Abdullah at-Tastari mengatakan: taatlah kamu kepada penguasa dalam tujuh hal: mata uang yang sah, takaran, timbangan, hukum, haji, shalat jum’at, dua hari raya, dan jihad” (Tafsir al-Qurtubi, Juz V, hlm. 249). Di sini, yang dimaksud dengan ulu al-amri adalah para imam, sultan (penguasa), hakim, dan setiap orang yang mempunyai kekuasaan syar’i, bukan kekuasaan tiranik. Adapun pengertian yang dimaksud adalah taat kepada mereka (ulu al-amri) dalam segenap perintah dan larangannya sepanjang tidak maksiat kepada Allah (Fath al-Qadir, Juz I, hlm. 726). Beliau pun mengatakan: “Manusia senantiasa dalam kebaikan selama mereka menghormati penguasa dan ulama. Jika mereka menghormati keduanya, maka Allah akan memperbaiki urusan dunia dan akhiratnya. Dan jika mereka melecehkan keduanya, maka Allah akan merusak urusan dunia dan akhiratnya” (Tafsir al-Qurtubi, Juz V, hlm. 249).

Terdapat banyak dalil-dalil yang shahih yang mencapai tingkat mutawatir dan yang secara pasti berasal dari Rasulullah saw. dengan kepastian yang tidak dapat diragukan lagi bagi orang yang berpegang teguh kepada Sunnah yang suci mengenai kewajiban taat kepada para imam, penguasa, dan pemimpin, sampai-sampai di beberapa radaksi Hadis yang shahih terdapat pernyataan: taatlah kamu kepada penguasa meskipun ia adalah budak negro yang rambut kepalanya gimbal. Kewajiban taat kepada mereka itu sepanjang mereka melaksanakan shalat dan tidak tampak pada mereka kekufuran yang nyata, dan sepanjang mereka tidak memerintahkan maksiat kepada Allah. Jelasnya, meskipun mereka sangat lalim dan melakukan jenis kelaliman yang sangat berat, namun kelalimannya tersebut tidak sampai menyebabkan kekukuran yang nyata, maka ketaatan kepada mereka tetap merupakan suatu kewajiban sepanjang perintahnya bukan suatu maksiat kepada Alah. Termasuk dari perintah ulu al-amri yang harus ditaati adalah perintah melaksanakan berbagai pekerjaan dan memasuki pos-pos keagamaan yang tidak termasuk maksiat kepada Allah, seperti jihad, membela hak-hak rakyat, memutuskan hukum terhadap pihak-pihak yang bertikai, menegakkan ketentuan-ketentuan hukum terhadap siapa saja.

Secara garis besar, ketaatan kepada ulu al-amri adalah suatu kewajiban bagi setiap orang yang berada dalam wilayah kekuasaannya sepanjang bukan maksiat kepada Allah. Oleh karena itu, interaksi atau sejenisnya dengan ulu al-amri berkenaaan dengan hal-hal seperti di atas memang merupakan suatu keharusan. Maka ketatan kepada mereka dengan ketentutan-ketentuan yang sudah saya paparkan tidak dapat dihindari. Hal ini karena kuatnya dalil-dalil yang menjelaskan perintah tersebut. Dalam Alquran dinyatakan, {Taatilah Allah, dan taatilah Rasul dan ulil amri di antara kamu}. Selain itu, juga ada dalil yang menyatakan, “mereka (ulu al-amri) menerima ketaatan yang menjadi haknya, meskipun mereka sendiri tidak melaksanakan kewajiban untuk rakyat sebagimana dijelaskan dalam beberapa Hadis Nabi, “Beri mereka (ulu al-amri) apa yang menjadi haknya dan mintalah kepada Allah apa yang menjadi hakmu.” Bahkan, terdapat perintah untuk taat kepada penguasa dan Nabi saw. pun menekankan hal tersebut sampai-sampai beliau menyatakan, “Meskipun ia mengambil hakmu dan memukul punggungmu.” (Tafsir al-Qurtubi Juz II, hlm. 765).

Adapun firman Allah {Jika kamu berlainan pendapat mengenai sesuatu, maka kembalikan ia kepada Allah dan Rasul-Nya}, Imam Mujahid dan beberapa ulama salaf mengatakan: yakni kembali kepada Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya; dan hal ini adalah perintah Allah bahwa segala sesuatu mengenai sendi-sendi agama dan cabang-cabangnya yang diperselisihkan oleh manusia harus dikembalikan kepada Alquran dan Sunnah Rasulullah, sebagaimana firman Allah {Apa saja yang kamu perselisihkan, maka keputusannya terserah kepada Allah}(asy-Syura: 10) Apa yang diputuskan oleh Alquran dan Sunnah, dan kebenarannya diperkuat oleh keduanya, maka ia adalah benar. Menyimpang dari itu hanyalah kesesatan. Oleh karena itu, selanjutnya Allah berfirman {Jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir}. Artinya, kembalikan perselisihan dan ketidaktahuan kepada Kitab Allah Sunnah rasul-Nya; berhukumlah kamu dengan keduanya atas apa yang terjadi di antara kamu {Jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir}. Dengan ayat ini Allah menunjukkan bahwa siapa saja yang tidak berhukum dalam hal-hal yang menjadi bahan perselisihan dengan Alquran dan Sunnah dan tidak merujuk kepada keduanya, maka berarti ia tidak beriman kepada Allah dan hari akhir (Tafsir al-Qurtubi Juz I, hlm. 687).

Al-Qurtubi juga mengatakan: Ali bin Muslim at-Tusi menceritakan kepadaku, ia mengatakan: Ibnu Abi Fadik menceritakan kepadaku, ia mengatakan: Abdullah bin Muhammad bin Urwah menceritakan kepadaku berdasarkan riwayat dari Hisyam bin Urwah dari Abu Shaleh as-Saman dari Abu Hurairah: bahwasanya Nabi saw. besabda: akan memimpin kamu sesudahku beberapa penguasa; orang yang baik akan memimpin kamu dengan kebaikannnya dan orang yang durjana dengan kedurjanaannya. Maka, dengarkan dan taatilah mereka di mana saja berada selama sesuai dengan kebenaran. Shalatlah kamu di belakang mereka. Jika mereka berbuat kebaikan, maka [kebaikan] adalah bagimu dan bagi mereka. Dan jika mereka berbuat keburukan, maka [kebaikan] adalah tetap bagimu, sementara [keburukan] tersebut atas mereka (Tafsir al-Qurtubi Juz III, hlm. 149).

Teks-teks yang saya kutip di atas mengajarkan kepada kita bahwa secara syar’i tidak ada sisi yang shahih bagi mereka (pendudukung 1 Syawal jatuh pada hari Senen) karena menetang terhadap keputusan Departemen Agama mengenai penetapan awal bulan Syawal, meskipun mereka mengklaim dan beragumentasi sedemikian rupa. Bahkan, sikap mereka itu dapat menimbulkan fitnah di antara sesama umat Islam dan dapat menjerumuskannya dalam suasana saling curiga. Dalam hal ini Departeman Agama sudah benar dan tepat ketika menolak kesaksian satu atau dua orang lebih yang mengaku telah melihat hilal pada malam Senen karena Departemen Agama telah berpegang kepada hujjah syar’iyyah yang dapat dipertanggungjawabkan. Di samping itu, Departemen Agama juga telah bermusyawarah dengan lembaga hisab dan ru’yah mengenai penentuan 1 Syawal dan mereka pun telah sepakat bahwa hilal tidak mungkin dapat dilihat pada malam Senen. Sejatinya, syarat sesuatu yang dapat dilihat adalah adanya kemungkinan melihatnya secara akal, adat, dan syara’, sebagaimana yang akan saya jelaskan berdasarkan keterangan para imam. Berkaitan dengan ini, jika saja orang yang melaksanakan ‘id pada hari Senen itu merujuk kepada Alquran, Sunnah Rasulullah, dan pendapat para ulama, niscaya mereka tidak akan berani menentang. Akan tetapi, arogansi dan dorongan hawa nafsu, atau bahkan ketidaktahuan mereka mengenai fikih Islam, telah mempengaruhi mereka sehingga mereka berani menentang.

Kedua, mereka bertentangan dengan ketentuan hisab yang qat’i mengenai tiadanya kemungkinan melihat hilal pada malam Senen. Dalam menetapkan awal bulan, yang dijadikan pedoman hanyalah dengan jalan melihat hilal, baik menurut ahli falak dan orang-orang yang membenarkannya atau para ahli lainnya, sebagaimana yang dikuti oleh mayoritas kaum muslimin. Menurut ahli falak, yang dikehendaki dengan istilah “melihat hilal” hanyalah kamampuan melihat hilal atas dasar ketingian hilal di atas ufuq, sebagaimana yang sudah maklum bagi mereka. Ahli falak mengatakan bahwa hilal di atas ufuq memungkinkan untuk dilihat jika ketingiannya lebih dari satu derajat. Dalam konteks ini, hilal pada malam Senen berada di bawah satu derajat atau kurang; dengan demikian jelaslah bahwa orang yang melaksanakan ‘id pada hari Senen—karena berpedoman bahwa wujud hilal pada malam tersebut, sekalipun tidak memungkinkan untuk dilihat, cukup untuk dijadikan sebagai dasar menetapkan bulan Syawal—sungguh jauh dari kebenaran dan bertentangan dengan Sunnah; hal ini karena syari’at mengaitkan hukum puasa dan lebaran dengan ru’yah atau kemungkinan ru’yah, bukan dengan wujud hilal belaka, seperti yang mereka pakai. Rasulullah saw. mengatakan: “Janganlah kamu berpuasa sampai kamu melihat hilal, dan janganlah kamu berbuka sampai kamu melihatnya.” Jika kenyataannya seperti ini, maka kesaksian seseorang yang mengaku telah melihat hilal pada malam Senen tersebut harus ditolak. Selain itu, argumentasi mereka dalam melaksanakan ‘id pada hari Senen yang didasarkan atas ru’yah seperti itu dengan sendirinya adalah batal dan tidak bersandar kepada dalil-dalil yang dapat dipertanggungjawabkan. Bahkan, jika qadhi (hakim) menetapkan hukum dengan kesaksian seperti itu, maka ketetapan hukumnya tersebut juga batal. Apa yang telah saya uraikan tersebut juga didukung oleh penjelasan ulama yang membuktikan bahwa sebenarnya mereka dalam urusan agama tidak merujuk kepada pendapat ulama dulu dan imam-imam ahli ijtihad. Berikut ini adalah beberapa penjelasan ulama:

Dalam Hasyiyah ‘ala Syarh al-Mahali, Juz II, hlm. 63 Qalyubi menuturkan: “Termasuk hal-hal yang menimbulkan status dzan (dugaan) adalah hisabnya ahli perbintangan untuk dirinya sendiri dan untuk orang-orang yang membenarkannya. Bahkan, al-‘allamah al-‘Abbadi mengatakan: jika hisab qat’i (yang meyakinkan) menunjukkan ketidakmungkinan melihat hilal, maka pengakuan dari orang yang adil harus ditolak. Ini sangat jelas, pada keadaan itu dilarang berpuasa. Menentang ketentuan tersebut jelas merupakan kesombongan dan pembangkangan (Qalyubi, Hasyiyah ‘ala Syarh al-Mahali, Juz II, hlm. 63).

Dalam kitab Mauhibah dzi al-Fadhl, Syekh at-Tirmasi menjelaskan: “[Perkataan Mu’allif: di depan qadhi dengan lafal syahadah] Artinya, jika ada orang adil menyaksikan dengan lafal syahadah di depan qadhi, maka hal itu cukup sebagai dasar tetapnya kewajiban berpuasa. Sebab, orang adil tersebut menggunakan cara syahadah, bukan cara riwayah. Kedudukan ketentuan seperti itu, sebagaimana yang disampaikan oleh as-Subki, adalah jika hisab menunjukkan kemungkinan ru’yah. Sebaliknya, jika hisab menunjukkan ketidakmungkinan ru’yah; dalam hal ini diperoleh melalui muqaddimmah-muqaddimah yang qat’i, maka kesaksian orang adil tersebut tidak diterima karena mustahilnya ru’yah. Dia mengatakan: menurut saya, ini termasuk kemustahilan status qat’i (pasti) meningkat dari status dzan (dugaan); dalam kasus seperti ini keputusan hukum qadhi pun menjadi batal. Dalam kitab al-I’ab, Muallif mengarahkan dan menolak orang yang mengecam pendapatnya bahwa muqaddimah-muqaddimah hisab puncaknya adalah dzan, karenanya tidak menimbulkan kemustahilan, bahwa pendapatnya tersebut jika ahli hisab sepakat atas kemustahilannya dan bahwa muqaddimah-muqaddimah hisab kedudukannya adalah qat’i. Jika hal itu terjadi, maka kesaksian atas ru’yah tidak dapat diterima karena syarat sesuatu yang disaksikan adalah kemungkinannya untuk dilihat secara akal, adat, dan syara’. Puncak kesaksian adalah dzan, sementara dzan itu tidak dapat mengalahkan kepastian.”

Dalam I’anah at-Talibin JUz 2, hlm. 243 dijelaskan: [far’un]: jika ada satu atau dua orang bersaksi melihat hilal, sementara hisab menunjukkan ketidakmungkinan ru’yah, as-Subki mengatakan, “kesaksian seperti itu tidak diterima karena kedudukan hisab adalah qat’i, sementara kedudukan kesaksian adalah dzan, dan dzan itu tidak dapat mengalahkan qat’i.” Dalam kitab at-Tuhfah, pengarang memberikan rincian: yang dijadikan pegangan bahwasa, jika para ahli hisab sepakat bahwa muqaddimah-muqaddimah-nya adalah qat’i, dan orang-orang yang memberitakannya mencapai jumlah tawatur, maka kesaksian ditolak. Sebaliknya, jika tidak ada kesepakatan, maka kesaksian tidak ditolak.

Dalam Fatawa as-Subki, Juz I, hlm. 219-220, as-Subki juga menjelaskan bahwa hisab yang qat’i jika menafikan kemungkinan melihat dengan mata (imkan ar-ru’yah al-bashariyah), maka wajib bagi qadhi untuk menolak kesaksian para saksi. As-Subki juga menuturkan bahwa tugas qadhi adalah memperhatikan kesaksian saksi di depannya mengenai persoalan apa saja. Jika ia melihat secara jelas dan nyata akan kebohongannya, maka ia harus menolak kesaksian tersebut dengan tegas. As-Subki menegaskan: bukti syaratnya adalah apa yang disaksikan memungkinkan menurut indera, akal, dan syara’. Jika petunjuk hisab secara pasti menentukan ketidakmungkinan, maka menurut syara’ mustahil kesaksian dapat diterima karena kemustahilan sesuatu yang disaksikan. Sebab, syara’ tidak datang membawa kemustahilan. Adapun kesaksian para saksi sangat mungkin didasarkan atas dugaan, kesalahan, dan kebohongan.

Qadhi Iyadh mengatakan: “pendapat as-Subki seperti ini tidak bertentangan dengan pendapat ahli fikih yang menyatakan bahwa tidak boleh berpegang pada hisab karena mereka mengatakan hal tersebut dalam kasus yang sebaliknya, yaitu jika hisab menunjukkan kemungkinan ru’yah” (Hasyiyah al-Uddah ‘ala Syarh Ihkam al-Ahkam, Juz III, hlm. 328).

Ketiga, bertentangan dengan kewajiban berupaya menyatukan kaum muslimin dalam urusan agama di luar masalah yang meniscayakan perbedaan. Sebab, kesatuan kaum muslimin dalam berpuasa, berbuka, dan syi’ar-syiar kaum muslimin lainnya adalah suatu tuntutan. Jika kita tidak sampai kepada kesatuan secara global di berbagai kawasan Islam di penjuru dunia, maka setidak-tidaknya kita harus mendorong tumbuhnya kesatuan secara parsial dan spesifik sesama kaum muslimin di dalam satu kawasan. Oleh karena itu, kita tidak bisa menerima penduduk muslim dalam satu negeri atau satu kota terpecah-pecah; sebagian kelompok berpuasa pada suatu hari karena mereka menganggap sudah masuk bulan Ramadhan, sementara kelompok yang lain tidak berpuasa karena berkeyakinan masih bulan Sya’ban. Demikian halnya pada akhir Ramadhan; sekelompok orang berpuasa, sementara kelompok yang lain berlebaran. Kondisi seperti ini jelas tidak dapat diterima, terlebih Departemen Agama Replubik Indonesia telah memutuskan bahwa 1 Syawal jatuh pada hari Selasa karena tidak adanya ru’yah yang dapat dipertanggungjawabkan dan karena tidak adanya kemungkinan ru’yah atas dasar hisab qat’i). Sikap mereka yang bertentangan dengan keputusan Departemen Agama dan penyimpangan mereka dari apa yang diikuti oleh mayoritas kaum muslimin jelas dapat mengobarkan api fitnah sesama kaum muslimin dan perpecahan serta permusuhan di antara mereka. Dan ini adalah situasi yang tercela menurut syara’. Allah berfirman:{Barangsiapa menentang Rasul sesudah menjadi jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang beriman, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburukburuknya tempat kembali}(an-Nisak: 115)

Selain itu, sikap mereka pasti menyenangkan hati para musuh dan memudahkan mereka dalam mewujudkan cita-citanya menghancurkan kesatuan kaum muslimin dalam berbagai urusannya, baik yang sifatnya duniawi maupun ukhrawi. Hal ini sebagaimana yang dikatakankan oleh Dr. Sa’id Ramadhan al-Buwaiti dalam kitab al-Jihad fi al-Islam dengan mengutip pendapat Bernad Lois yang mengatakan, “westernisasi di kawasan Arab dapat menyebabkan perpecahan di kawasan tersebut. Perpecahan secara politik seperti ini dengan sendirinya akan diikuti oleh perpecahan secara sosial dan kultural. Kenyataannya, menundukkan kawasan tertentu kepada Barat tidak mungkin terlaksana kecuali melalui pemecahan kawasan itu sendiri. Jika diberikan kepada seorang politikus mana pun di dunia ini satu masalah yang menjadi bahan pertanyaan orang perihal upaya menundukkan kawasan Arab kepada Barat, niscaya ia hanya memilih jalan yang secara pasti ditempuh oleh Barat, yakni memecah-belah kawasan Arab dengan fitnah yang merajalela, mencerai-beraikannya secara sosial dan kultural, mengobarkan permusuhan dan perbedaan, dan memperluas wilayah perbedaan serta menonjolkannya secara berlebih-lebihan. Tidak diragukan lagi, siapa saja yang melakukan upaya seperti ini niscaya merasa sedih jika melihat suasana damai di antara berbagai kelompok dan merasa bahagia jika melihat meletusnya peperangan di antara sesama. Barangkali orang yang menjauhkan peran Barat dalam menyulut peperangan adalah satu di antara dua kemungkinan: penipu atau orang yang tertipu.

Rekomendasi Hasil Seminar tentang Hilal dan Waktu

Pada tanggal 21-23 Rajab 1409 H/27-29 Maret 1989 M, di Kuwait diadakan seminar tentang hilal, waktu, dan teknik-teknik astronomi yang diprakarsai oleh Lembaga Ilmiah Kuwait dan Lembaga Pengenbangan Ilmu Pengetahuan Kuwait. Seminar tersebut diikuti oleh sejumlah peserta dari kalangan ahli fikih dan ahli falak dari negara-negara Arab, antara lain Yordan, Emirat Arab, Aljazair, Saudi Arabia, Sudan, Oman, Palestina, Qatar, Kuwait, Mesir, Maroko, dan Yaman. Selain itu, seminar juga dihadiri oleh sejumlah delegasi dari Lembaga Kajian Fikih Islam, Jeddah; Lembaga Pendidikan, Kebudayaan, Ilmu pengetahuan, Persatuan Lembaga-lembaga Ilmu Arab. Seminar mengeluarkan rekomendasi ilmiah sebagai berikut:

1. Jika melihat hilal berhasil dilakukan di satu negeri, maka wajib bagi kaum muslimin untuk mengikutinya tanpa mempertimbangkan perbedaan matla’. Hal ini didasarkan atas khitab umum yang berisikan perintah berpuasa dan berbuka.

2. Menggunakan hisab yang valid pada kondisi negatif, (yakni kepastian ketidakmungkinan ru’yah). Hisab astronomi dapat dijadikan sebagai pegangan jika didasarkan atas penelitian yang cermat, di samping juga didasarkan atas kaidah-kaidah astronomi yang qat’i dan dikeluarkan oleh ahli falak yang dapat dipercaya sehingga jauh dari kesalahan.

Dengan demikian, jika beberapa saksi bersaksi melihat hilal pada kondisi di mana secara astronomi ru’yah sulit dilakukan, maka kesaksiannya harus ditolak karena bertentangan dengan kondisi riel dan karena adanya unsur keraguan di dalam kesaksiannya tersebut.

Berikut ini beberapa kondisi yang mustahil dilakukan ru’yah:
A. Jika para saksi bersaksi melihat hilal sebelum waktu ru’yah yang ditentukan oleh hisab astronomi, yaitu wujudnya hilal di ufuq sesudah terbenamnya matahari, maka penyaksian melihat hilal sebelum tercapainya kebersamaan, atau jika penyaksian sezaman dengan kebersamaan, baik kebersamaannya itu secara kasat mata, seperti adanya gerhana, atau tidak menurut ketentuan hisab astronomi yang valid, maka penyaksian seperti itu tidak dapat diterima. Kemustahilan ru’yah dalam kondisi seperti ini ditegaskan oleh para ahli hukum Islam, seperti Ibnu Taimyah, al-Qarafi, Ibnu al-Qayyim, dan Ibnu Rusyd.


B. Jika para saksi bersaksi melihat hilal sesudah terbenamnya matahari pada hari di mana keesokan harinya rembulan terlihat sebelum matahari bersinar, maka kesaksian melihat hilal seperti itu juga tidak diterima.

3. Melihat hilal adalah dasar dalam menetapkan bulan, sementara hisab astronomi digunakan untuk membantu ru’yah dalam menetapkan tanggal; dalam hal ini dengan jalan menentukan kondisi ru’yah terkait dengan hari, jam, arah, dan kondisi hilal. Dengan demikian, hisab astronomi tidak cukup dijadikan dasar dalam menetapkan bulan, namun harus dengan kesaksian yang dapat dipertangungjawabkan dalam melihat hilal. Jika hisab menunjukkan adanya kumungkinan ru’yah dan tidak adanya kendala-kendala astronomik, namun hilal tetap tidak terlihat, maka hitungan bulan harus disempurnakan menjadi 30 hari.

Penjelasan Tahun Hijriyah

Ketahuilah bahwa tahun hijriyah adalah tahun yang permulaaannya dimulai sejak hijrahnya Nabi Muhammad saw. dari Mekkah menuju Madinah. Bulan-bulan tahun hijriyah di dasarkan atas perhitungan rembulan (qamariyah); dimulai dari awal bulan Muharram dan berakhir pada bulan Dzulhijjah. Yang demikian inilah yang disebut dengan tahun hijriyah di mana ketika Nabi saw. sampai di Quba’ pada permulaan bintang libra (burj al-mizan); yakni bertepatan dengan awal musin dingin. Selanjutnya, Nabi saw. tinggal beberapa hari di Quba’ untuk membangun masjid, yaitu masjid yang untuk pertama kalinya dibangun oleh Nabi saw. pada permulaan hari yang diisyaratkan oleh Alquran, {Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar taqwa (masjid Quba’), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu mengerjakan shalat di dalamnya} (at-Tubah: 108). Perhitungan ini didasarkan atas keberangkatan Nabi saw meninggalkan Mekkah untuk hijrah pada pertengahan akhir bulan September dan sampai di Madinah pada awal bulan Oktober. Dari sini kita mengetahui bahwa Nabi saw. memulai revolosi sosialnya yang dahsyat dan jihadnya yang agung pada awal bulan Oktober dan terus berjihad sampai memperoleh kemenangan yang luar biasa.

Khatimah
Penjelasan Awal Tahun dan Bulan Hijriyah

Jika Anda ingin mengetahui awal tahun hijriyah atas dasar hisab istilahi yang tidak meyakinkan untuk mengetahui posisi rembulan sebagaimana yang dijelaskan dalam Alquran, {Dan Kami telah tetapkan bagi bulan manzilah-manzilahnya, sehingga kembalilah ia sebagai bentuk tandan yang tua), maka untuk mengetahui tahun yang Anda inginkan, kurangilah bilangannya sebanyak delapan-delapan sehingga tersisa 8 atau kurang. Setelah itu bilangan sisanya Anda bandingkan dengan nomor-nomor hija’iyah: ba’, wawu, dal, alif, ha’, jim, dan dal secara berurutan. Jika sisa satu, maka dinamakan tahun ba’iyah, yakni tahun yang dimulai pada hari Senen. Jika sisa dua, maka dinamakan tahun wawiyah, yakni tahun yang dimulai pada hari hari Jum’at, dan seterusnya. Jika sisa delapan, maka dinamakan tahun daliyah; berarti awal tahun adalah hari Rabu. Sebagai contoh, tahun 1427 H, Anda kurangi delapan-delapan., maka bilangan sisanya adalah 3, dengan demikian dinamakan tahun jimiyah, artinya awal tahun adalah hari Jum’at karena berada pada urutan hari keenam.

Sesudah mengetahui awal tahun hijriyah, jika Anda ingin mengetahui awal bulan-bulan hijriyah, maka ketahuilah huruf-huruf hija’iyah sebagai berikut: ﺃ, ح, ﺪ, ﻮ, ﺰ, ﺃ, ﺐ, ﺝ. Bulan Muharram dengan alif, Safar dengan jim, Rabi’ul Awal dengan dal, dan seterusnya. Safar adalah yang ketiga dari hari-hari dalam setahun; Rabi’ul Awal yang keempat, Rabi’us Sani yang keenam, dan seterusnya. Contohnya adalah tahun 1418; awal bulan Safar adalah hari Ahad, Rabi’ul Awal adalah hari Senen, dan Rab’us Sani adalah hari Rabu. Dalam Hadis atau Atsar yang dinyatakan sebagai maudhu’, sebagaimana komentar az-Zarqani atas kitab al-Baiquniyah halaman 44, dan seringkali terbukti sesuai dengan kenyataan, ada keterangan yang menyatakan: “Hari kurbanmu adalah hari hari puasamu; hari rayamu adalah hari tahunmu yang baru. Artinya, hari raya idul adha bertepatan dengan hari permulaan puasa Ramadhan dan hari raya idul fitri bertepatan dengan hari permulaan tahun.

Sebagian manusia memisahkan diri dari masyarakat dan memilih uzlah karena mengikuti hisab khumasi, dalam arti awal puasa Ramadhan adalah hari kelima dari hitungan permulaan hari pada bulan Ramadhan tahun sebelumnya. Sebagai contoh, awal puasa tahun ini adalah hari Rabu, maka awal puasa tahun depan adalah hari Ahad, sedangkan awal puasa pada tahun berikutnya adalah hari Kamis. Demikian seterusnya. Hisab istilahi, sebagaimana telah saya jelaskan, tidak qat’i dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara syar’i, meskipun biasa digunakan dan sesuai dengan tahun-tahun hijriyah dalam hal jumlah hari dalam setahun. Akan tetapi, dibandingkan dengan hisab qat’i, perhitungan awal bulan hisab istilahi seringkali mundur satu atau dua hari. Oleh karena itu, yang dijadikan patokan menurut syara’ dalam setiap bulan adalah melihat hilal, terlebih awal bulan Ramadhan karena penekanan syara’ atas perintah puasa sampai-sampai kesaksian satu orang yang adil diterima. Dan ini jelas berbeda dengan bulan-bulan lain, seperti bulan Syawal, di mana kesaksian yang dapat diterima hanyalah kesaksian dua atau lebih orang yang adil. Hisab qat’i juga masuk dalam beberapa persoalan ijtihadiyah. Selain itu, seringkali penganut hisab qat’i seringkali berbeda pendapat dalam menetapkan awal bulan, sebagaimana yang terjadi pada awal bulan Syawal tahun 1418 H. Boleh jadi, hisab istilahi sesuai dengan hisab qat’i, seperti yang terjadi pada tahu 1419 H.

Demikianlah apa yang saya terima dari beberapa guru kami, antara lain ayah saya, Kyai Zubair bin Dahlan, dan kakek saya, Kyai Ahmad bin Syau’aib. Kakek saya, Kyai Ahmad bin Syau’aib mengatakan kepada saya, “ berpuasalah kamu dan berbukalah atas dasar keputusan dan ketetapan hakim sepanjang keputusan dan ketetapannya itu sesuai dengan tuntunan syara’, yakni sesuai dengan kaidah-kaidah syara’. Jika tidak sesuai, maka kamu harus merahasiakan.”

Saya berpesan kepada diri saya sendiri dan kepada teman-teman saya untuk bertaqwa dan istiqamah dalam kesunyian dan keramaian. Saya minta dari mereka tambahan doa, semoga Allah menguimpulkan saya dan mereka dalam limpahan rahmat dan ridha-Nya, amin. Allah-lah Yang Maha mengetahui akan kebenaran dan Kepada-Nya semua hal kembali. Rahmat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad beserta keluarga dan sahabatnya. Alhamdulillah rabbi al-‘alamin.

***

Diterjemahkan oleh M. Adib (LTN-NU) dari Risalah fi Mauqifina haula as-Shaum wa al-Isthar ‘Am 1427 H yang ditulis oleh KH. Maimun Zubair, Sarang, pada hari Rabu 2 Syawal 1427 H/ 25 Oktober 2006.
---------------------------------
Dikutip dari NU Online : Selasa, 7 Nopember 2006 7:17 WIB


Baca selengkapnya ...