.: My Letters 4 My Life :.

28 June 2006

Membangun Loyalitas dan Integritas Kader Partai

Tidak bisa dipungkiri lagi, bahwa jantung pertahanan sebuah partai terletak pada kekuatan loyalitas dan integritas para anggotanya. Tak kan berarti sebuah partai jika tidak ada bagian penyokong utama organisasi tersebut, yaitu anggota. Namun, kekuatan loyalitas dan intergritas anggota tidak lah muncul begitu saja. Ia dilandasi oleh berbagai kekuatan dalam diri mereka. Tidak sedikit loyalitas itu datang atas dasar kesamaan visi dan misi, datang dari ikatan emosional, rasional, juga tidak sedikit yang loyal karena unsur duniawi.

Keloyalan anggota yang kokoh biasanya tidak menganut sistem “balas budi” dan juga segala aksesoris keduniaan. Ia lahir dalam pandangan yang utuh karena kecintaan yang tulus, dan kadang penuh ikatan emosional. Lebih dari itu, juga karena rasionalisme yang matang terhadap partai tersebut. Tidak sedikit partai politik di Indonesia yang berkembang atas dasar ikatan emosional, meskipun di sisi lain tentu saja atas dasar beberapa kesamaan visi dan misi.

Partai yang berbasis atas dasar ikatan emosional biasanya lahir dari latarbelakang keagamaan, suku atau ideologi. Di sini kita akan menemukan beberapa partai yang masuk dalam kategori tersebut, yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang dilahirkan oleh rahim Nahdlatul ‘Ulama (NU), Partai Amanat Nasional (PAN) yang dibidani oleh tokoh-tokoh Muhammadiyah, Partai Bulan Bintang (PBB) yang dibentuk oleh kalangan Masyumi dan lainnya.

Partai-partai yang berbasis ikatan emosional tersebut tentunya bisa lebih mudah menjaring masa di bawah pada awal pembentukannya, tentu saja karena dorongan ikatan emosional tersebut. Malah konon, sewaktu pembentukan PKB, jajaran petinggi NU waktu itu menginstruksikan pengurus NU sampai ke kepengurusan paling bawah untuk segera membantuk kepengurusan PKB. Hal ini tentunya sangat positif bagi mereka yang bergerak di politik praktis -dalam hal ini PKB- karena bisa cepat berkonsolidasi, namun juga dirasa menjadi efek negatif bagi mereka yang bertahan untuk menjaga identitas sebagai organisasi keagamaan (NU).

Meskipun mereka cenderung mudah menjaring massa, namun untuk perkembangan dan eksistensi sebuah partai, tidak bisa mengandalkan dari ikatan emosional. Tidak sedikit partai yang akhirnya tidak eksis karena kurangnya pembenahan partai secara utuh. Salahsatu contoh yang bisa kita lihat adalah Partai Bulan Bintang (PBB), yang kemarin waktu pemilu tahun 2004 tidak bisa memenuhi batas electrocal treshold untuk ikut pemilu selanjutnya. Bisa saja hal ini terjadi pada partai-partai yang kini masih eksis, seperti PKB, PAN atau lainnya jika tidak bisa mengantisipasi dari sekarang atau mungkin tidak bisa mengatasi permasalahan internal partai yang terjadi selama ini.


Untuk mengantisipasi terjadinya permasalahan dalam diri partai, yang bisa berujung pada terjadinya ketidakeksistensian, maka partai tentunya harus membuat program dan stategi yang efektif. Program yang efektif ini juga harus dijalankan sebaik mungkin secara komprehensif dan terpadu. Tidak sedikit partai yang sudah membuat program ini secara detail, namun aplikasinya masih nol. Salahsatu instrumen penting dalam program partai untuk menjaga eksistensi tersebut adalah kaderisasi partai.

Jika mau jujur, program kaderisasi yang berkelanjutan dalam tubuh partai sekarang ini sangat sedikit. Disini kita mungkin bisa menemukan sebuah contoh partai yang cukup baik dalam program kaderisasi yaitu Partai Keadilan Sejahtera (PKS). PKS, yang awalnya adalah kelanjutan dari Partai Keadilan, bisa dibilang cukup memberikan prospek yang baik dalam kancah perpolitikan bangsa. Hal ini tentunya tidak terlepas dari program kaderisasi partai, selain program-program penting lainnya.

Menilik lebih jauh pada kaderisasi di tubuh PKS, maka kita akan menemukan akar kekuatannya yang bertumpu pada kekuatan anggotanya di dalam lingkaran-lingkaran pengajian (baik kecil maupun besar) dan dibina secara berkesinambungan. Bahkan untuk identitas anggota pun mereka memiliki tingkatan-tingkatan sendiri, dan untuk masuk tiap tingkatan itu juga melalui suatu ujian atau pelatihan. Program pembinaan anggota ini lah yang kiranya patut ditiru oleh partai lain, meski dalam kemasan yang berbeda. Langkah ini ibaratnya untuk mengantisipasi terjadinya kapal yang ombang-ambing atau mungkin karam karena kapal memiliki awak yang kompeten.

Membangun Loyalitas dan Integritas Kader
Tidaklah mudah untuk membangun loyalitas dan integritas kader sebuah partai. Hal ini perlu kematangan konsep dan kebijakan partai yang cerdas serta didukung penuh oleh segenap anggota partai. Meski demikian, dalam penglihatan penulis, sedikitnya ada 5 (lima) langkah besar dalam upaya membangun loyalitas dan integritas partai.

5 langkah besar tersebut adalah pertama, menanamkan ideologi partai secara rapi dan mendalam; kedua, memberikan dukungan penuh kepada anggota/kader dalam setiap kegiatan partai (baik secara moril maupun spirituil); ketiga, membentuk jaringan anggota/kader yang representatif, berkualitas dan profesional; keempat, menyelenggarakan program pembinaan anggota/kader secara terpadu, merata dan berkelanjutan; dan terakhir, kelima, memberdayakan anggota/kader secara optimal di tengah-tengah masyarakat.

Ideologi yang ditanamkan kepada anggota/kader partai tentunya disesuaikan dengan jiwa dan semangat partai tersebut pada saat dilahirkan. Sebagai contoh pada PKB, selain mengidentitaskan dirinya sebagai partai nasionalis, pluralis (keberagaman) dan inklusif (keterbukaan), PKB juga tetap menggunakan hubungan emosionalnya dengan Nahdlatul ‘Ulama sebagai bidan yang melahirkannya di masa reformasi. Ideologi NU dan ajaran Ahlus Sunah Wal Jama’ah pun menjelma menjadi jimat PKB dalam meraup suara massa di bawah, khususnya di Jawa. Tak pelak, eksistensi PKB dan segala lika likunya juga terkadang menjadi catatan tersendiri bagi NU. Jika hubungan emosionalnya dengan NU dan sifat nasionalisme dalam diri partai bisa dirancang dan dikonstruksi dengan begitu rapi, maka tidak mustahil akan lahir loyalitas yang tinggi dalam generasi-generasi PKB. Hal ini juga berlaku pada partai-partai yang lain agar bisa tetap eksis di kancah perpolitikan bangsa Indonesia, tentunya disesuaikan dengan ideologi dan sifat organisasinya masing-masing.

Langkah lainnya adalah perlunya dukungan yang kuat dari partai kepada anggota/kader dalam mengikuti kegiatan atau program partai. Tidak sedikit dari anggota, simpatisan bahkan kader yang keluar dari partai karena kurangnya dukungan dari organisasi. Dukungan tersebut tidak berarti berupa materiil atau sesuatu yang di-uang-kan, melainkan suatu bentuk penghormatan atau penghargaan kepada anggota/kader untuk bisa aktif secara optimal. Sebagai contoh adalah perlunya sarana prasarana yang memadai untuk melakukan koordinasi atau proses administrasi organisasi. Meskipun hal ini tidak menjamin dalam kuatnya partai, tetapi penulis meyakini bahwa hal ini sangat menunjang dalam menjaga loyalitas dan integritas anggota/kader partai, sehingga secara langsung memberikan masa depan yang cerah dalam keberlangsungan partai nantinya.

Selain itu, langkah yang tidak kalah pentingnya adalah perlunya pembentukan jaringan anggota/kader yang representatif, dalam arti jaringan anggota/kader tersebut bisa mewakili organisasi/partai dalam wilayah tertentu. Juga bersifat merata, artinya jaringan tersebut dibangun di seluruh wilayah, tempat partai dibangun. Di sisi lain, jaringan ini juga diharapkan bisa menjadi wadah anggota/kader partai yang berkualitas dan profesional. Kualitas di sini bisa dilihat dari segi manapun juga, yang jelas tingkat loyalitas dan integritas terhadap partai tidak perlu diragukan. Sedangkan profesional, organisasi yang dibangun tersebut bekerja atas dasar kemampuan manajerial yang baik dengan berlandaskan aturan organisasi yang ada.

Langkah keempat dalam membangun loyalitas adalah menyelenggarakan program pembinaan anggota/kader secara terpadu, merata dan berkelanjutan. Terpadu berarti program dibangun secara utuh dan bertahap sampai selesai. Merata berarti program pembinaan dilaksanakan di semua lini kehidupan dan dimanapun. Kalau pun tidak bisa dilaksanakan pada semua wilayah, maka perlu dilakukan sistem prioritas sehingga tujuan organisasi bisa optimal. Sedangkan program yang berkelanjutan tentunya program bisa dilaksanakan secara terus menerus sesuai periode waktu yang disepakati dalam organisasi.

Langkah kelima menurut penulis adalah partai mampu memberdayakan anggota/kader secara optimal untuk berkiprah di tengah-tengah masyarakat. Partai mampu mengarahkan dan memobilisasi massa di bawah sebagai bagian dari partai yang turut berpartisipasi dalam kekuatan sosial masyarakat. Hanya saja, kiprah yang dilakukan bukanlah semata-mata atas dasar instruksi atau perintah partai, melainkan sebagai tanggung jawab secara moral di tengah masyarakat. Apalagi dalam kaitannya dengan bidang sosial, maka hal ini adalah sudah menjadi komitmen pada diri tiap partai yang ada. Karena pada hakikatnya, partai tidak sekedar bisa membawa seseorang menuju kepada kekuasaan, atau sekedar mediator dalam mengaspirasikan suara di bawah, tetapi partai adalah organisasi yang lahir dalam upaya membangun masyarakat sipil yang kuat dan menyeluruh di berbagai bidang kehidupan. Jika partai bisa membangun keadaan ini, niscaya loyalitas dan integritas anggota/kader partai pun bisa meningkat.

Langkah-langkah tersebut di atas pada hakikatnya adalah bagian integral dari program partai secara keseluruhan. Sungguh menjadi kekuatan besar dalam diri sebuah partai jika bisa melaksanakan program-program partai yang ada, termasuk program kaderisasinya. Program kaderisasi menjadi sesuatu yang sangat penting karena menyangkut tongkat kepemimpinan partai, dengan kata lain menyangkut keberlangsungan sebuah partai. Partai yang bekerja dengan sistem kaderisasi yang baik tentu saja memberikan masa depan yang cerah. Sebaliknya, tanpa program kaderisasi yang baik maka partai tidak bisa tumbuh dan berkembang secara baik, malah mungkin kehancuran yang akan datang. Wallahu ’Alam Bish Showab.

*Anggota Komunitas Muda untuk Indonesia Bangkit (KOMMIT)
http://www.kommit.org

-------------------------------------------------------
Ragunan, 25 Juni 2006, Pukul 01.30 WIB
Menjelang pertandingan piala dunia 16-besar : Argentina vs Meksiko
-------------------------------------------------------


Baca selengkapnya ...

21 June 2006

Kriptografi dan Teknologi Informasi

Pendahuluan
Secara etimologi, kriptografi berasal dari gabungan 2 (dua) kata, yaitu crypto (rahasia) dan graphien (tulisan) sehingga kriptografi sering diartikan sebagai seni menyembunyikan tulisan rahasia. Kriptografi merupakan salahsatu dari subkegiatan pada kriptologi selain kriptanalisis. Jika kriptografi, bagaimana kita melakukan pengkodean agar berita menjadi tersandi maka kriptanalisis adalah bagaimana kita bisa memecahkan berita tersandi itu menjadi berita terang seperti semula.

Kombinasi bidang kriptografi dan kriptanalisis adalah kriptologi, atau ilmu yang khusus berbicara tentang persandian, baik teknik penyandian maupun pemecahannya. Dalam kriptografi, proses penyandian sering diistilahkan dengan enkripsi dan sebaliknya, untuk proses pemecahan berita sandinya disebut dengan dekripsi. Secara umum, dalam proses kriptografi ada 3 (tiga) unsur utama, yaitu plaintext (teks terang), key (kunci) dan ciphertext (teks sandi).

Pada awal sejarahnya, kriptografi pertamakali digunakan pada jaman Mesir dengan menggunakan huruf-huruf Eurogypt. Kemudian digunakan juga pada masa kerajaan Julius Caesar, bangsa Romawi, dimana proses penyandian berita rahasianya hanya menambahkan berita terang dengan kelipatan tertentu. Jika enkripsinya menggunakan proses pertambahan, maka proses dekripsinya menggunakan sebaliknya. Dalam hal ini, kunci yang digunakan adalah bilangan kelipatannya. Perkembangan selanjutnya, kriptografi tidak hanya terbatas pada dunia paper and pencil yang bersifat klasik, tetapi mengarah pada teknologi digital secara elektronik.

Aplikasi Kriptografi
Kriptografi sudah banyak diaplikasikan dalam berbagai kebutuhan. Pada dasarnya, aplikasi tersebut berdasarkan pada service (layanan) komunikasi. Layanan komunikasi tersebut antara lain confidentiality (kerahasiaan), authentication (autentikasi), integrity (keutuhan), non-repudiation dan lain-lain. Secara realita, kebutuhan akan keamanan informasi dalam hal kerahasiaan berita jauh lebih banyak. Hal ini terjadi sejak awal dunia kriptografi di bangsa Mesir, kemudian pada masa Kerajaan Caesar bahkan dunia perang sekalipun.

Seiring perkembangan komunikasi, aplikasi kriptografi kini mengalami perkembangan pesat dan terjadi di berbagai bidang layanan kehidupan. Dari individual, kelompok, instansi, perusahaan dan lainnya hampir menggunakan metode kriptografi dalam hal pengamanan berita rahasia. Salahsatu contoh instansi yang menggunakan kriptografi adalah bank. Bagaimana aplikasi kriptografi di bank ?

Bank dalam menggunakan kriptografi pada dasarnya atas dasar layanan kerahasiaan dan otentikasi. Namun, ada juga yang difungsikan untuk memenuhi semuanya, otentikasi, kerahasiaan, non-repudiation dan availability. Contoh aplikasi tersebut pada pembuatan no PIN kartu ATM. Di sini bank menggunakan algoritma tertentu yang digunakan untuk proses kerahasiaannya, sedangkan otentikasinya bisa menggunakan algoritma digital signature, hash function atau Message Digest. Untuk menguak ini, tentunya membutuhkan pembahasan yang cukup panjang.

Hubungan Kriptografi dan Teknologi Informasi
Kriptografi merupakan metode untuk pengamanan berita rahasia dengan teknik-teknik tertentu. Keunggulan dan segala aksesories nya kini menjalar dalam bidang kehidupan manapun, termasuk dalam dunia Teknologi Informasi. Teknologi informasi (TI), menurut definisinya seperti yang tertuang pada RUU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) adalah suatu teknik untuk mengumpulkan, menyiapkan, menyimpan, memproses, mengumumkan, menganalisa, dan menyebarkan informasi.

Tentunya setiap komunikasi informasi apapun yang dilakukan sangat memerlukan adanya keamanan, termasuk komunikasi informasi secara elektronik. Di sinilah salahsatu peran kriptografi dalam upaya mengamankan informasi, baik yang dilakukan secara off-line maupun on-line. Jadi hubungan kriptografi dan teknologi informasi adalah pada aplikasinya, dimana kriptografi bersifat membangun komunikasi lebih aman meskipun pada saat tertentu bisa mengurangi kecepatan dalam proses komunikasi.

TI tanpa Kriptografi
Tidaklah sempurna jika TI tanpa kriptografi. Ibarat sayur tanpa garam, maka rasa sayur tersebut kuranglah sedap. Demikian pula pada dunia TI, semakin cepat perkembangannya maka semakin rawan pula keamanannya. Oleh karenanya kriptografi menjadi salahsatu unsur pelengkap dalam hidangan TI.

Seperti pepatah bilang, tidak ada teknologi informasi apapun yang menjamin keamanannya. Hal ini terbukti sudah berapa banyak aplikasi TI yang diterapkan oleh instansi, misalnya bank namun keamanan datanya masih rawan. Ini terjadi jika unsur kriptografi belum diterapkan secara maksimal. Memang, faktor keamanan terbesar terjadi karena dari intern sendiri, namun sungguh tidaklah ringan tantangan keamanan dari luar.

Kriptografi Mutakhir
Kini, bidang kriptografi mengalami perkmbangan yang cukup pesat. Ruang lingkup kriptografi pun semakin kompleks. Dari algoritma simetrik, asimetrik, algoritma Digital Signature, algoritma Hash Function, Protokol Kriptografi, dan lainnya. Rekomendasi algoritma yang digunakan pun sebagian besar sudah dikeluarkan oleh lembaga yang berwenang, seperti oleh NIST. Dalam upaya peningkatan pengetahuan masyarakat di bidang ini, sering dilakukan konferensi kriptografi yang dilakukan oleh para peneliti, akademisi dan masyarakat peminat kriptografi, baik bersifat lokal, regional maupun internasional. Hasil penelitian juga sering dipublikasikan di media manapun. Selain itu, dalam suatu negara juga biasanya terbentuk suatu instansi yang khusus bergerak di bidang kriptografi.

Kriptografi Indonesia
Kalau menengok kriptografi di Indonesia, maka hal ini tidak terlepas dari proses persandian pada masa sejarah perjuangan kemerdekaan. Saat itu, bidang persandian dilakukan oleh Kementerian Pertahanan R.I. pada masa perang. Awal permulaan kegiatan persandian memang tidak diketahui, namun tahun 1946 sudah terbentuk lembaga Jawatan Sandi yang khusus bergerak di bidang persandian. Pada akhirnya, lembaga ini setelah melalui proses panjang digantikan namanya menjadi Lembaga Sandi Negara (Lemsaneg) yang sampai sekarang masih eksis. Tidak hanya itu, untuk peningkatan ilmu dan teknis persandian di tanah air, dibentuk sekolah khusus yang bergerak di bidang kriptografi ini, yaitu Akademi Sandi Negara (AKSARA), yang sekarang telah berubah menjadi Sekolah Tinggi Sandi Negara (STSN).

Meski demikian, pengembangan kriptografi di Indonesia juga dilakukan oleh pihak-pihak lain yang berminat di bidang kriptografi, baik akademisi, lembaga bisnis maupun lainnya. Bahkan, tidak hanya diajarkan di STSN, kriptografi pun dijadikan menu khusus untuk para mahasiswa yang mengambil studi komputer, sebagaimana yang diajarkan di ITB. Ini lah yang akan menjadi harapan akan masa dengan kriptografi yang cerah untuk ke depan, karena kriptografi tidak dimonopoli oleh suatu lembaga tertentu yang bisa melahirkan stagnansi, melainkan tercipta iklim kompetisi yang berakibat pada dinamisasi ilmu.

Regards,
Pecinta Kriptografi di Indonesia


Baca selengkapnya ...

07 June 2006

Virus In Gus We Trust :
Sebuah Otokritik bagi Pembangunan Jiwa Muda NU

In Gus We Trust, inilah ungkapan yang sudah tidak asing lagi bagi muda Nahdliyyin dalam mengekspresikan keyakinannya terhadap Gus Dur. Tak jarang mereka yang masuk dalam generasi ini selalu mem-backup argumentasi Gus Dur tatkala ada sesuatu yang dirasa telah mendistorsi atau merusak citra Gus Dur. Dalam tataran sebuah masyarakat yang berserikat, dukungan terhadap sebuah tokoh adalah sebuah kewajaran meskipun pada tingkat tertentu bisa berakibat lahirnya sebuah rezim feodalisme yang mengekang dinamisasi serikat itu sendiri. Realitanya, kondisi ini hampir terjadi di belahan dunia manapun juga, termasuk di bumi pertiwi kita.

Keyakinan terhadap seorang tokoh memang sangat diperlukan dalam roda perjuangan. Hal ini berlaku untuk dimanapun kita berada, nyaris tidak mengenal ruang dan waktu. Di sisi lain, perjuangan dalam menjaga keyakinan tersebut memiliki dimensi yang beraneka ragam, ada yang bersifat individual, kelompok, emosional dan lain-lain. Lantas, dari dimensi mana yang masuk ke dalam “otak” sebagian muda Nahdliyyin yang begitu mengidolakan seorang Gus Dur?

Sebelum ke arah jawaban atas pertanyaan tersebut, maka patutlah kiranya kita mencoba menilik dari sosok seorang Gus Dur. Dalam dunia NU pada khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya, wacana dan kajian tentang beliau tak akan pernah selesai, bahkan ada yang beradagium seperti tanda baca koma pada sebuah kalimat, dengan kata lain belum pernah selesai. Lebih dahsyatnya lagi, sosok Gus Dur dianggap sebagai misteri ke empat Tuhan selain mati, jodoh dan nasib. Ya itu lah sebagian orang berkata.

Di sisi lain, yang mencoba membedah Gus Dur pun bersifat lintas regional, lintas agama, lintas golongan, lintas manapun juga. Ini tak lain dari sosok beliau yang bersifat multidimensi. Julukan kyai, budayawan, politikus, seniman dan lain-lain itu sungguh melekat dalam pribadi Gus Dur. Meskipun demikian, jukulan negatif terhadap beliau pun tak kalah banyaknya. Hal ini lah yang menjadi sisi tersendiri dalam hidup beliau.

Lahir sebagai generasi darah biru NU, kepiawaiannya dalam berpolitik, kecerdasannya dalam berpikir, kesederhanaannya dalam bertindak, keberaniannya dalam melangkah sampai kekuatannya dalam hujatan dan fitnah memberikan posisi tersendiri bagi warga NU, khususnya muda Nahdliyyin yang begitu mengidolakan beliau. Jadi kalau kita mau melihat dari dimensi mana mereka menjadi Gus Dur-ian -pengikut Gus Dur- sejati maka tergantung dari tiap diri mereka. Oleh karenanya, tidak usah heran jika ada sebagian orang di luar maenstream agama di Indonesia yang masuk dalam barisan Gus Dur-ian. Mungkin saja mereka melihat sosok Gus Dur sebagai pejuang HAM, pembela minoritas atau lainnya.

Pertanyaanya selanjutnya adalah apakah benar Gus Dur selalu berada dalam rel kebenaran? Untuk menjawab ini tentunya bukanlah sesuatu yang sulit, bahkan super gampang. Kita tak perlu susah payah mencari dalil atas kekurangan Gus Dur. Cukuplah kita yakin, bahwa No Body’s Perfect, bukan? Lalu sampai batasan mana pegangan keyakinan mereka dalam diri Gus Dur? Inilah yang tidak mungkin bisa digali oleh siapapun karena pada hakikatnya dukungan mereka bersifat subjektif dan pada tataran tertentu mungkin sebagian dari mereka tidak meyakini 100% bahwa langkah-langkah dari seorang Gus Dur adalah sebuah kebenaran.

Anda pasti ingat dengan kasus statement Gus Dur tentang Alqur’an adalah kitab suci paling porno sedunia, bukan? Di sinilah keyakinan Gus Dur-ian akan kebenaran dari seorang Gus Dur juga diuji. Meski kontroversialisme ini direspon Gus Dur dengan adanya kesalahpahaman dari para pembaca atau pendengarnya, namun tetap saja berbuah tidak sedap bagi warga NU dan Gus Dur-ian pada khususnya. Tidak sedikit Gus Dur-ian yang mengkritik atas statement tersebut, apalagi generasi muda NU lainnya yang jelas-jelas berhaluan lain. Tetapi bagaimana dengan Gus Dur-ian yang yakin 100% bahwa tidak ada yang perlu dipersoalkan dalam statement tersebut? juga mereka bilang bahwa kita tidak paham dengan statement tersebut? Salahkah mereka? Lalu kembali lagi, sejauh mana keyakinan mereka terhadap kebenaran Gus Dur itu? Tidak adakah yang perlu dipersoalkan dalam tingkah laku Gus Dur yang tidak jarang berbau kontroversial tersebut?

Menurut penulis, generasi NU yang bergerak tanpa adanya kritik konstruktif seperti gaya Gus Dur-ian di atas yang tidak pernah mempersoalkan hal-hal yang kontroversial adalah generasi Nahdliyyin yang terkena virus semboyan In Gus We Trust secara berlebihan, dan dikhawatirkan dalam kondisi tertentu mereka bisa menjadi generasi yang “super-taklid” meskipun mereka membantahnya. Mereka meyakini bahwa Gus Dur adalah sosok manusia agung seperti wali yang hidup dengan perjuangan dan fitnah. Gus Dur adalah sosok manusia suci yang tidak bisa dipahami oleh masyarakat awam. Gus Dur adalah sosok manusia cerdas tanpa batas. Sungguh, untuk dinamisasi dalam muda NU virus semboyan tersebut menyesatkan.

Kita menghormati beliau. Kita menghargai beliau. Tetapi kita juga punya hati nurani untuk berkata tidak pada sesuatu yang menurut kita sendiri tidak sesuai. Tak usah ragu untuk katakan tidak pada Gus Dur. Tak usah ragu untuk berkata bahwa saya tidak sependapat dengan Gus Dur. Juga tak usah ragu jika Anda memang ingin “melawan” Gus Dur. Semuanya sah-sah saja, bukan? Tetapi yang terpenting adalah bagaimana keyakinan kita, baik sesuai atau tidak dengan Gus Dur adalah keyakinan yang berdasar atas hati nurani kita sendiri. Keyakinan inilah yang melandasi bagi sebuah jiwa yang hidup dengan kritik konstruktif.

Lalu bagaimana membangun jiwa kritik konstruktif tersebut? Bagi saya pribadi adalah dengan memulai keyakinan awal bahwa tak ada manusia yang sempurna dalam hidup ini. Dari keyakinan ini, tentunya juga Anda yakin bahwa sosok Gus Dur adalah bagian dari ruang manusia yang pasti memiliki kesalahan. Langkah ini tidak lain adalah bagaimana kita berani membuang keyakinan In Gus We Trust karena pada hakikatnya hanya Allah al-Haq. Jika keyakinan ini sudah membumi dalam diri kita, maka membangun jiwa kritik konstruktif bagi muda Nahdliyyin bukanlah sesuatu yang sukar, bukan?.

Jakarta, 6 Juni 2006


Baca selengkapnya ...